News  

Sejauh Ini, dari Lakon ke Lakon (3): (Perjalanan R. Eko Wahono Bersama Teater Lho Indonesia)

Catatan Agus K. Saputra

NusantaraInsight, Ampenan — Perjalanan teater tak pernah sekadar soal pentas. Ia adalah cara manusia menafsirkan ulang hidupnya: melalui tubuh, suara, dan diam. Dalam tubuh teater, waktu berhimpit antara yang lalu, kini, dan nanti.

Sejak pertama kali R. Eko Wahono mendirikan Teater Lho Indonesia pada awal dekade 1990-an, teater telah menjadi bukan sekadar ruang ekspresi, melainkan rumah batin tempat para penggiatnya menimbang makna peradaban, menggugat kemapanan, dan mencari kembali kemanusiaan yang tercecer di tengah hiruk-pikuk zaman.

Dua catatan sebelumnya, Sejauh Ini, dari Lakon ke Lakon (1) dan (2), telah memetakan perjalanan panjang itu: dari Orang Kasar hingga Reportoar Anjing—sebuah rentang tiga dekade yang memperlihatkan bagaimana gagasan, waktu, dan tubuh pemain saling berkelindan membentuk semesta kesenian yang khas. Setiap lakon menjadi jejak spiritual yang menegaskan bahwa teater bukanlah permainan imitasi, melainkan kerja panjang menafsirkan kehidupan dalam bentuk yang paling sunyi.

Kini, dalam bagian ketiga ini, perjalanan Teater Lho Indonesia berlanjut menuju fase yang lebih reflektif, bahkan kontemplatif. Waktu membawa mereka melewati perubahan sosial, politik, dan budaya. Sementara teater menjadi tempat permenungan, sekaligus laboratorium kesadaran.

BACA JUGA:  Mentan Amran Dorong Kaltara Jadi Lumbung Pangan Perbatasan dan Pintu Ekspor

Empat lakon yang dibahas dalam bagian ini — Te Seboq Siq Beboro (2015), Catastrophe (‘Bahle’) (2020), Fragmentasi Matinya Demung Sandhubaya (2022), dan Borka (2024) — menandai babak baru pencarian estetika dan spiritual R. Eko Wahono serta para penggiatnya.

Keempat lakon ini dapat dibaca sebagai refleksi atas “masa senja” teater — bukan dalam arti kemunduran, melainkan kedewasaan dalam memahami makna kehidupan. Ia tidak lagi berteriak di jalan, tetapi berbisik dalam ruang batin manusia.

Tidak lagi menggugat secara frontal, melainkan menimbang dengan kesadaran. Dalam setiap gerak dan jeda, kita menemukan perenungan tentang kehilangan, absurditas, kuasa, dan rahasia waktu.

Dari anak-anak yang mencari kawan bermain hingga para tokoh yang menantang batas realitas, semua berakar dari kesadaran yang sama: bahwa teater adalah cermin dari kehidupan itu sendiri.

IX. Lakon Te Seboq Siq Beboro
Naskah: R. Eko Wahono
Dipentaskan di Jambore Sastra 2015, Kupang (Kategori Teater Anak)

Ada sesuatu yang menyentuh dan sekaligus mengejutkan dari perjalanan panjang Teater Lho Indonesia ketika Eko Wahono menulis dan menyutradarai lakon Te Seboq Siq Beboro. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kelompok ini, Eko menulis naskah yang diperuntukkan bagi teater anak-anak, sebuah wilayah yang jarang ia jamah sebelumnya.

br