Tanpa Dasar “Rule of Law”, Perampasan Aset Bisa Liar

Pasal 28G UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Pasal 28H ayat (4): ”Setiap orang berhak mempunya harta milik pribadi dan hak tersebut tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Pada United Natrions Convention Against Corruption (UNCAC) — Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi, 2003, menyebutkan, perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur pidana dan jalur perdata.

Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui empat tahapan, yaitu:
Pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan.

Kedua, pembekuan atau perampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 di mana dilarang sementara menstransfer, mengonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.

BACA JUGA:  Presiden Joko Widodo Tiba di Tanah Air Usai Lawatan ke Afrika

Ketiga, penyitaan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten.

Keempat, pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban.
UNCAC 2003 juga mengatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 UNCAC).

UNCAC merekomendasikan penyitaan aset tidak melalui cara pidana konvensional, tetapi penyitaan secara perdata atas aset tindak pidana yaitu yang dikenal dengan “Non-Conviction Based” Asset Forfeiture as a tool of Aset Recovery (NCB). Penyitaan asset secara In Rem. Mereka berbagi tujuan yang sama, yaitu perampasan oleh negara dari hasil dan sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal.

Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Hasil kejahatan harus dirampas dan digunakan untuk kompensasi kepada korban, apakah itu negara atau individu.