Utang luar negeri merupakan satu faktor kritis dalam upaya pemulihan ekonomi Indonesia. Jika faktor ini tidak dapat diatasi, maka krisis berikutnya akan kembali mengancam. Kita bisa belajar pengalaman dari Meksiko. Utang luar negeri terbukti telah menjerumuskan Meksiko ke jurang krisis ekonomi sampai dua kali (1984 dan 1995). Manajemen makro ekonomi yang tidak ditangani dengan baik (sound macro economic management) merupakan penyebab utama mengapa negara seperti Meksiko terjerumus dalam krisis ekonomi sampai dua kali. Belajar dari pengalaman Meksiko ini, manajemen makro ekonomi perlu ditangani oleh pemerintah Indonesia dengan baik.
*Bagaimana Posisi Saat Ini?*
Melansir koran.tempo.co 30 Agustus 2024, dalam lima tahun ke depan, pemerintahan Prabowo Subianto akan berdarah-darah karena menanggung utang besar warisan Presiden Joko Widodo. Ruang Prabowo mengutak-atik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi sempit lantaran besarnya alokasi untuk mencicil utang serta bunganya.
Tahun depan saja, utang pemerintah yang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun. Jumlah ini tak termasuk beban bunga utang yang harus dibayar. Dalam Rancangan APBN 2025, pemerintah mengalokasikan Rp 552,9 triliun untuk membayar utang. Jumlah tersebut naik 10,8 persen dari outlook pembayaran utang 2024 yang sebesar Rp 499 triliun. Angka ini bahkan lebih besar dari rencama belanja subsidi tahun depan yang hanya Rp 309,1 triliun.
Pemerintah merancang APBN 2025 sebesar Rp 3.613 triliun dengan target penerimaan perpajakan mencapai Rp 2.490 triliun. Dengan utang dan bunga yang harus dibayar tahun depan mencapai lebih dari Rp 1.350 triliun, pemerintahan Prabowo tak bisa bermewah-mewah dalam membelanjakan anggaran. Untuk menambal deficit, pemerintah memang berencana menambah utang senilai Rp 775,9 triliun pada 2025. Utang baru ini pada dasarnya hanya akan menutup sebagain besar utang yang jatuh tempo.
Dengan kata lain, “Kita sebenarnya sudah masuk ke situasi gali lubang-tutup lubang. Tambahan utang digunakan untuk menutupi utang yang jatuh tempo, bukan untuk membiayai pembangunan,” tulis koran.tempo.co.
Salah satu penyebab kita terjebak dalam situasi ini adalah perilaku pemerintah sendiri. Pemerintah memberikan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang relatif tinggi, yang berarti pemerintah mengeluarkan biaya lebih mahal untuk berutang. Pada periode pemerintahan Jokowi, misalnya, rata-rat suku bunga SBN mencapai 7,7 persen. Suku bunga instrument serupa di Thailand pada periode yang sama sebesar 2,7 persen, di Malaysia 4 persen, di Filipina 5,3 persen, dan di Vietnam 6 persen. Padahal negara-negara tersebut juga menghadapi risiko global yang sama.







br






