Soal waktu tempuh ini, De’sisi mengungkapkan pengalamannya. Ketika saya menyampaikan, lama perjalanan antara 1-2 menit, dia mengatakan semua tergantung arus sungai. Bila arusnya lagi deras, bukan cuma butuh waktu sedikit lebih lama, bahkan mendaratnya pun bisa di dermaga berbeda. Maksudnya, perahunya itu terbawa arus hingga terpaksa mendarat di dermaga lama. Arus ini, diakui, sangat tergantung pada kondisi cuaca dan alam.
Ada kearifan lokal yang dipahami oleh De’sisi, yang disebut bonang dan konda. Katanya, itu bahasa orang dahulu. Bonang itu pasang surutnya air, kalau pagi surut, nanti pasang di sore hingga malam hari. Sementara kalau konda itu, airnya standar, tidak pada posisi surut dan pasang. Bila laut lagi pasang, air bisa setinggi dermaga. Meski begitu, dia tetap beraktivitas, cuma harus hati-hati. Kecuali saat banjir besar melanda Kota Makassar, di bulan Februari 2025, selama 2 hari dia tidak beroperasi.
“Sewaktu banjir besar di Makassar, saya tidak bekerja, tapi dua hari ji. Karena setelah itu airnya surut sendiri,” kenang De’sisi.
Saya menyebut rute ini, sebagai jalur belakang menuju ke kampung Lakkang. Selain itu, masih ada jalur lama, yang lewat Dermaga Mandiri, bisa pula menyeberang lewat jalan tol Ir. Sutami, atau melalui pelabuhan yang berada di dekat Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Warga sendiri, punya sebutan yang lebih sederhana, merujuk pada arah mata angin. Warga biasa hanya menyebut dermaga Raya dan dermaga Lauk. Dalam masyarakat Makassar, Raya berarti Timur, Lauk berarti Barat, sedangkan Timborok, artinya Selatan, dan Warak, artinya Utara.
Begitu sepeda motor yang saya kendarai lepas dari dermaga, kami langsung disambut hamparan alam nan luas. Mata saya melihat petak-petak tambak ikan di sisi kiri dan kanan jalur jalan yang akan kami lewati. Hanya ada satu atau dua rumah yang berdiri di antara tambak-tambak itu. Saya teringat De’sisi, ketika mengatakan jarak dari dermaga ke kampung Lakkang mungkin sejauh 1 kilometer.
“Kayaknya benar, apa yang tadi disampaikan,” begitu pikir saya.
Sepanjang perjalanan, istri saya tak henti-henti mengingatkan agar saya berhati-hati. Maklum, jalur jalan yang terlihat berkelok membelah tambak-tambak ini, hanya berupa jalan setapak, selebar 1 meter. Jalannya terbuat dari paving block, dengan pinggiran yang ditumbuhi rumput liar. Itulah mengapa, ada serombongan kambing dan beberapa ekor kerbau yang dengan nikmatnya memakan rumput di situ. Saat menuju kampung, kami sempat bertemu dengan dua lelaki yang tengah memancing. Kami bertegur sapa, mappatabe, atau meminta permisi. Katanya, mereka tengah memancing ikan mujair.