Bedah Buku: Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia

Heterarki
ki-ka: Prof. Dr. Atun Wardatun, Prof. Dr. Abdul Wahid, Prof. Dr. Nuriadi dan Dr. Saipul Hamdi

Catatan Agus K Saputra

NusantaraInsight, Ampenan — Ada hal yang mengerucut menjadi catatan dalam bedah buku: Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia karya Abdul Wahid dan Atun Wardatun, Rabu, (02/07) lalu. Yaitu bagaimana agensi kolektif, kuasi hegemoni dan perubahan sosial bertali-temali dengan heterarki masyarakat muslim Indonesia.

*Kajian Prof. Dr. Atun Wardatun*

Konsep atau teori heterarki ternyata bisa masuk pada penelitian-penelitian kami sebenarnya sudah kami lakukan sebelum kami menemukan teori ini. Jadi ini upaya untuk mencocokkan. Oleh karena itu kami berharap ke depan teori ini tidak sekedar mencocokkan pada tulisan-tulisan yang sudah ada tapi benar-benar bisa dipakai pada analisis-analisis tulisan lain. Dan kami sudah mencoba ke arah sana.

“Di buku ini kami mencoba menawarkan metodelogi alternatif. Kami tidak berani menyatakan metodelogi baru, karena (kami melakukan) percobaan mencampurkan beberapa metodelogi yang sebenarnya sudah eksis,” ucap Guru Besar Universitas Islam Negeri Mataram ini.

Mungkin teman-teman pernah mendengar istilah etnografi. Diartikan sebagai penelitian yang mengandalkan partisipan observasi yang mendalam. Mendengarkan cerita orang berdasarkan perspektif insider. Lalu cerita diolah, dianalisis, maka jadilah sebuah pengetahuan (etnografi).

BACA JUGA:  Shantined : Bagaimana Proses Kreatif Menulis Sampai Jadi Buku Kumpulan Puisi dan Cerpen

Lalu berkembanglah menjadi autoetnografi. Ternyata pengalaman subyektif seseorang itu bisa menjadi pengetahuan bagi orang lain. Misalnya ada isu-isu yang sensitif seperti KDRT.

“Tidak semua orang mau menceritakan, jika saya meneliti tentang KDRT. Saya pernah melakukan penelitian tentang KDRT dan memerlukan waktu 3 tahun untuk benar-benar mengungkap. Ternyata KDRT bisa diceritakan lebih lugas, kalau korbannya itu sendiri yang menceritakan,” kata Prof. Atun.

Begitu pula soal isu seksualitas, isu pengalaman beragama, dan Isu kesehatan mental, misalnya, tidak gampang kita mendapatkan data dari orang lain. Maka oleh para ahli metodeloginya boleh menggunakan pengalaman diri sendiri untuk diceritakan. Jadilah metodelogi autoetnografi.

Namun demikian, kami dituduh subyektif. Pengalaman sendiri diceritakan, jadi narsis. Maka untuk menghindari hal tersebut, mencoba mengambil cerita autoetnografi dari karya kami sendiri yang sudah ada. Yang sudah masuk ke Jurnal, yang lumayan obyektiflah. Ini pengalaman yang sudah tertulis. Maka kami mengambil itu untuk kami analisis lagi sehingga menemukan istilah tadi: Heterarki.

Lalu kemudian kami namakan menjadi autoetnografi analisis isi. Mengapa analisis isi? Karena ada juga metodologi analisis konten analisis, dimana konten analisis adalah menganalisi berita-berita, informasi atau dokumen-dokumen yang sudah ada untuk menemukan pola atau istilah yang menggabungkan menjadi benang merah dari artikel-artikel atau berita-berita atau konten-konten itu. Sehingga dengan sok beraninya, kami manamakan metodologi ini sebagai autoetnografi analisis isi.