Oleh Aslam Katutu
NusantaraInsight, Makassar — Sitobo lalang lipa adalah salah satu tradisi atau filosofi perkelahian kehormatan yang sangat dikenal dalam budaya Bugis-Makassar, khususnya di Sulawesi Selatan. Istilah ini secara harfiah berarti “saling menikam di dalam sarung”.
Tradisi ini merupakan bentuk duel satu lawan satu di mana dua pria masuk ke dalam satu sarung dan bertarung dengan badik (senjata tradisional) sampai salah satu dari mereka tewas atau terluka parah dan akhirnya dinyatakan kalah dalam pertarungan.
Iran dan Israel dalam Arena pertarungan
Hari ini, kita menyaksikan sesuatu yang mirip, meski tidak menggunakan sarung dan badik. Dua kekuatan besar di Timur Tengah—Iran dan Israel—saling tusuk dengan rudal, drone, dan propaganda. Dunia menyaksikan dengan tegang, namun belum bisa berbuat banyak. Dan di antara mereka berdiri seorang wasit: Amerika Serikat.
Tapi wasit ini bukan wasit netral. Ia memegang peluit di satu tangan dan senjata di tangan lainnya. Dalam adat Bugis, wasit Sitobo Lalang Lipa hanya mengatur waktu dan batas, tak boleh berpihak.
Tapi di sini, Amerika bertindak seperti wasit yang diam-diam menyelipkan badik tambahan ke pinggang Israel. Ia berseru “Fair fight!”, tapi tangannya ada di pundak salah satu peserta.
Dua lawan sudah saling tusuk sejak lama. Iran menaruh dendam panjang atas dominasi Barat dan pendudukan tanah suci Muslim di Palestina. Israel, merasa dirinya terancam, menyerang lebih dulu, menghalau sebelum dihantam dengan dalih Iran mengembangkan Nuklir. Iran membela diri lalu menyerang balik Israel tanpa ampun. Mereka saling tusuk dalam ruang sempit politik regional, berebut pengaruh, dengan alasan kehormatan, dan saling serang terus berlangsung dalam waktu lama.
Israel menyerang lebih dulu—seperti orang yang menusuk dari balik punggung dalam arena sarung. Iran membalas dengan cepat dan keras, melemparkan rudal dan drone ke jantung musuh. Dunia gempar. Tapi dalam adat Bugis, jika dua pendekar sudah turun ke dalam sarung, maka tak ada yang boleh mencela siapa yang menikam lebih dulu. Karena begitu satu kaki melangkah ke dalam sarung, maka hukum adat sudah berjalan: tak ada tempat bagi keluhan, hanya keberanian.
Siapa yang membuka arena?
Dari luar arena, tampak jelas bahwa banyak pihak yang meniup genderang perang, tetapi tidak ikut bertarung. Negara-negara Teluk Arab menonton dengan mata penuh strategi. Rusia mengamati dengan senyap, Tiongkok memainkan perannya di jalur diplomasi.
Tapi wasit utama tetaplah Amerika. Ia menunjuk Iran sebagai musuh besar, mendukung Israel dengan sistem pertahanan, dana militer, dan legitimasi internasional. Maka jelas: ini bukan duel yang setara. Sitobo Lalang Lipa murni lagi, melainkan perkelahian yang sudah dibumbui intrik kekuasaan global dengan persekutuan.