Oleh: Shanti Yani (Koordinator Indonesia’s Sketchers Makassar)
NusantaraInsight, Makassar — Minggu siang, 22 Juni 2025. Saya sengaja berangkat ke kampus Institut Kesenian Makassar (IKM) sejam lebih awal dengan niat membantu panitia mempersiapkan Workshop Sketsa dan Menggambar Bersama yang akan diadakan oleh Komunitas Indonesia’s Sketchers Makassar (IS Makassar).
Workshop tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari Pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6 , 21-25 Juni 2025, berlokasi di Jalan Racing Center IV.
Workshop sedianya akan dipandu oleh Muh Suapri Sarullah, seorang sketser alumnus Arsitek Unhas, tahun 2011. Dia kini berprofesi sebagai ASN di salah satu unit kerja pada instansi Pemda Kabupaten Takalar.
Tiba di lokasi suasana masih lengang. Beberapa panitia pameran terlihat sedang berbenah di sana-sini sebelum pelaksanaan pameran dimulai pukul 16.00 WITA. Saya berkesempatan melihat-lihat karya lukis maupun karya instalasi yang sedang dipamerkan sebelum pengunjung lain berdatangan.
Tidak lama berselang, Chadijah menghampiriku.
“Sudah mi tadi saya antar orang tuaku keliling-keliling liat pameran,” ujarnya dengan mata berbinar-binar. Nampak rasa bangga bercampur bahagia pada raut wajahnya.
Ini adalah kali kedua Chadijah mengikuti pameran REP. Sebelumnya, di 2023 pada REP #4 bertema Marginados.
Total ada 11 karya dari 7 orang yang mewakili IS Makassar ikut serta dalam perhelatan pameran REP #6 tahun ini, dengan tema Post-Truth.
Tibalah kami di lantai 3 ruang pameran. Serta-merta mataku tertuju pada sebuah bingkai hitam yang posisinya miring sendiri. Refleks ingin kubetulkan tapi rupanya memang seperti itulah konsep pemajangan oleh pihak panitia.
Kesebelas karya teman-teman IS Makasar tersebar di dua panel dalam keadaan miring ke kiri dan ke kanan. Menyiratkan keberadaan komunitas kami yang begitu dinamis mulai dari sistem keanggotaan tanpa batasan umur, beragam latar belakang profesi, juga mengapresiasi apapun style gambar anggotanya.
Dari dalam bingkai hitam yang terpajang miring tersebut, tergambar dengan jelas suasana warung sederhana di bawah naungan pohon rindang, dengan deretan ember plastik berwarna merah muda, dan ibu penjual yang sibuk melayani.
“Warung Jagung Rebus Takalar no.49. Kios Hj. Anthy. Menerima pesanan. Hp: 085xxxxxx” demikianlah info singkat tertera pada gambar spanduk yang terpajang depan warung.
Sketsa tersebut menggunakan drawing pen dan cat air, diselesaikan dalam waktu satu jam saat Chadijah, gadis berkacamata minus itu, mampir istirahat pada salah satu warung jagung rebus yang berderet di tepi jalan lintas provinsi di daerah Takalar. Saat itu, dia dalam perjalannya dari Makassar menuju Bulukumba.