Masih Ada Yang Nyinyir

Gambar ilustrasi (sumber: https://images.app.goo.gl/dVamEtFDpUsEr7PJA)

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Miris. Di tengah serangan balasan Iran terhadap Israel — negara yang selama ini dikenal luas sebagai pelaku genosida terhadap rakyat Palestina — masih saja ada suara-suara nyinyir yang terdengar lantang.

Dalam sebuah unggahan di akun Instagram, seorang ustaz berjenggot dengan kopiah putih menjawab enteng pertanyaan, “Israel dan Iran perang, kita dukung siapa?” Ia menjawab bahwa ini adalah pilihan yang sulit, karena keduanya, menurutnya, merupakan negara yang kerap membuat kekacauan di Timur Tengah. Ia menambahkan bahwa keburukan keduanya lebih banyak daripada kebaikannya.

Naudzubillah. Saya hanya bisa mengelus dada. Mungkin Anda pun akan melakukan hal yang sama. Ustaz bergelar Lc dan Magister Agama itu tampaknya kesulitan melihat dengan hati nurani tragedi kemanusiaan yang sedang dialami rakyat Palestina akibat agresi brutal Israel. Haruskah kita masih mempertanyakan siapa pelakunya, ketika anak-anak, perempuan, dan orang tua di Gaza dibantai setiap hari?

Serangan Iran terhadap Israel — yang sejatinya merupakan respons atas serangan lebih dulu dari Israel — mestinya bisa dilihat sebagai celah harapan, meski kecil, bagi rakyat Palestina yang tersisa. Setidaknya, ada kemungkinan bahwa agresor yang selama ini merasa tak tersentuh, kini mulai merasakan akibat dari kekejamannya. Ini bukan soal memilih siapa yang lebih baik, tapi tentang siapa yang selama ini menjadi korban dan siapa yang terus menindas, siapa yang saat ini bertindak nyata terhadap Israel sehingga memberi efek Israel bisa menghentikan kekejamannya, tak perlu mempersoalkan apakah berakidah ahlul Sunnah atau syiah.

BACA JUGA:  PERJUANGAN BURUH DALAM LEMBARAN ARSIP (May Day Antara Lupa dan Dikenang)

Yang lebih menyedihkan lagi, seorang ustaz yang cukup dikenal tiba-tiba viral karena pernyataannya yang kontroversial. Ia menyebut bahwa Iran dan Israel sejatinya adalah “bestie” — sahabat dekat. Menurutnya, serangan Iran terhadap Israel bukanlah bentuk solidaritas terhadap Palestina, melainkan semata-mata reaksi karena Iran lebih dulu diserang oleh Israel.

Di tengah euforia dan secercah harapan rakyat Palestina yang telah tertindas selama puluhan tahun — saat dunia seolah tak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan penderitaan mereka — munculnya narasi seperti ini justru menambah luka. Ketika Iran menggempur Israel dan sebagian warga Palestina menyambutnya dengan syukur, karena untuk pertama kalinya agresor mereka merasa terancam, pantaskah komentar sinis semacam itu dilontarkan?

Apakah layak kita meremehkan secuil kebahagiaan rakyat Palestina, hanya karena kita lebih sibuk mengurai motif politik daripada merasakan jeritan kemanusiaan? Di saat mereka mendambakan keadilan, tidakkah kita justru semestinya hadir dengan empati, bukan dengan nyinyiran? Walaupun kita berbeda akidah dengan mereka.