Cerita Tentang Buku

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)

NusantaraInsight, Gowa +- Buku-buku yang saya punya, tidak ujug-ujug bisa dimiliki. Ada cerita di baliknya, bagaimana saya membeli buku dan mengapa saya membeli buku. Buku-buku itu terus memenuhi lemari di rumah, hingga suatu ketika tak bisa lagi diatur pada rak-rak yang ada. Padahal kami sudah menyediakan 2 lemari buku berukuran tinggi 2 meter dan panjang 1,8 meter. Tetap saja tak muat. Lalu kemudian kami menggunakan kotak-kotak styrofoam–yang biasa dipakai pedagang ikan–untuk menampung buku-buku itu.

Meski suka membaca, awalnya saya tidak rutin membeli buku. Membeli buku hanya sesekali saja. Saat SMA, ketika masih tinggal di Ambon, buku yang dibeli bisa dihitung dengan jari. Maklum anak sekolahan hehehe.

Buku-buku serial “Lupus” karya Hilman Hariwijaya, merupakan buku yang paling aaya ingat. Itupun hanya beberapa yang dibeli. Cerita “Lupus” yang dimuat di majalah HAI, memang populer di paruh kedua 80-an. Buku lain yang membekas dalam ingatan saya, yang dibeli saat itu, yakni karya Maurice Bucaille, berjudul “Bibel, Quran, dan Sains Modern”.

BACA JUGA:  SIT Ibnu Sina Makassar Kolaborasi Rumah Zakat Sulsel Gelar Dongeng dan Galang Dana untuk Palestina

Buku dengan judul asli “La Bible le Coran et la Science” itu, belakangan saya jadikan sebagai kenang-kenangan ketika akan meninggalkan Ambon, pada tahun 1987, untuk kuliah di Makassar. Buku yang memantik minat saya pada ilmu pengetahuan itu, saya hadiahkan kepada sahabat saya, Embong Salampessy.

Begitu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, di tahun 1987, tidak banyak buku-buku teks terkait disiplin ilmu hukum yang saya miliki. Bahkan boleh dikata, saya kurang tertarik membeli buku bertema hukum kala itu, selain yang dianjurkan. Kalau ke toko buku, saya malah lebih tertarik pada buku-buku bertema sosial politik, atau buku-buku populer dan lagi aktual.

Toko Arena Ilmu di Jalan Mongisidi, merupakan toko buku yang kerap saya kunjungi. Toko ini bersebelahan dengan Toko Siswa yang menyediakan perlengkapan sekolah dan alat tulis kanor (ATK). Di sekitar Maricaya Baru ini, juga ada toko buku Bina Ilmu dan toko Dunia Ilmu di Jalan Bulukunyi.

Dari rumah saya di Kassi-Kassi, dekat Perumnas Panakukkang II, saya mesti naik pete-pete, sebutan angkutan kota di Makassar, trayek Sentral-Perumnas. Nanti saya turun di Jalan Kumala, lalu lanjut dengan pete-pete trayek Sentral-Veteran. Turunnya nanti setelah Pasar Maricaya, di pertigaan Jalan Mongisidi-Jalan Veteran Selatan. Masih harus sedikit berjalan kaki untuk tiba ke toko buku Arena Ilmu.

BACA JUGA:  Rusdin Tompo: Semangat Menulis Mesti Jadi Nilai Tambah Setiap Mahasiswa

Begitu masuk ke toko buku, kita sudah digoda dengan buku-buku best seller yang ditaruh di dekat kasir. Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmad, merupakan deretan penulis yang saya koleksi bukunya, di masa awal mulai rutin membeli buku.

Biasanya, saya ke toko buku kalau ada kelebihan uang sisa kiriman wesel. Setelah dipakai membayar SPP, saya gunakan membeli buku. Adakalanya, saya ke toko buku kalau lagi dapat orderan bikin spanduk. Ini keahlian saya yang sangat membantu selama masa kuliah di Fakultas Hukum.