“Beliau meminta saya mengurusi lapangan,” ungkapnya seperti yang diunggah melalui google.com 26 Desember 2018.
Meski honornya kecil, Malawing menerima tugas itu.
“Bukan semata soal uang, melainkan saya mendapatkan kepuasan karena setiap hari menginjak rumput lapangan Kerebosi,” kata Malawing, yang kerap menjadi wasit dadakan buat tim penyewa lapangan.
Bagi pria yang bertubuh kurus ini, pekerjaan petugas lapangan merupakan titik akhir pengabdiannya sabagai insan sepak bola.
“Lewat sepakbola, saya sudah mendapatkan segala yang diinginkan. Tempat tinggal, menyekolahkan anak, dan yang utama memberangkatkan orang tua naik haji,” katanya.
Khusus yang terakhir, Malawing mengaku menyimpan kebanggaan tersendiri.
“Salah satu alasan saya menerima tawaran Niac Mitra karena nilai kontraknya pas dengan biaya perjalanan haji buat ibu saya, Hajjah Kabi (almh.),” kata pemain yang pertama kali bergabung dengan Niac Mitra pada tahun 1997 tersebut.
Bersama Suryani, istrinya, lelaki kelahiran Bone 16 September 1952 ini memiliki lima anak lelaki, Mashuri, Mansyur, Maksum, Mansir, dan Musda.
Setelah memperkuat PSM (1972-1977) dan ikut membela PSM merebut Piala Soeharto 1974, Malawing menerima tawaran bermain di Niac Mitra Surabaya yang dilakoninya hingga 1982.
Pada tahun 1974 Malawing di bawah bendera PSM menjuarai Kings Cup di Bangkok. Setelah bergabung Niac Mitra dia melawat ke Dakka, Bangladesh, dan menjuarai Piala Agha Khan (1979). Pada tahun 1996, bersama PSM yang dilatih M.Basri, Mallawing juga melawat kembali ke negara yang pernah ditandanginya 17 tahun sebelumnya. Tetapi bukan sebagai pemain, melainkan sebagai ofisial.
Kini, situasi sudah berbalik pada sosok Mallawing. Tubuh yang pernah perkasa dan lincah di lapangan itu, kini telah tiada. Selamat jalan sang legenda. Jasamu akan selalu terkenang di dalam hati setiap orang yang mengenalmu. (*).