Ketika Wasit Khilaf

Wasit
Ahmad Karim, wasit FIFA pertama yang berasal dari Sulawesi Selatan

Menurut Ahmad Karim, belum ditemukan suatu cara untuk melaksanakan suatu pertandingan tanpa kehadiran dan peran seorang wasit di lapangan hijau. Namun kehadiran dan peran itu bukan hanya sekadar ada, melainkan diperlukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran tertentu dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai wasit.

Bahkan lebih spesifik lagi, ukuran-ukuran itu melekat pada seseorang sebagai corak kepribadian.
Ragu-ragu, tidak tegas, kurang percaya diri, kurang tegar, bahkan penakut, merupakan sifat-sifat yang menjadi titik lemah bagi seorang wasit. Bagi seorang wasit, betapa pun mahirnya pemahaman atas aturan-aturan permainan, kalau sifat-sifat itu ada pada dirinya, akan sangat sulit bagi dia melakukan tugas memimpin pertandingan.

Godaan yang dihadapi wasit selalu saja ada. Baik langsung atau pun tidak langsung. Sering juga dalam bentuk candaan dan main-main. Ahmad Karim masih ingat ketika berhadapan dengan Wali Kota Makassar yang sangat fenomenal, H.M.Dg.Patompo. Suatu saat bertemu, dia berkata.
‘’Pak Karim, sudah banyak wasit saya lihat, namun belum ada saya (maksudnya, wasit lain setegas saya memimpin, maksudnya) punya. Tetapi kalau Bapak memimpin, begini,’’ kata Patompo sambil memperlihatkan jempolnya.
‘’Cuma ada kelemahannya,’’ kata Patompo itu.
‘’Apa itu?,’’ potong Ahmad Karim bertanya balik.
‘Kalau kesebelasan kita, ambil-ambilkan tooooo… mi….!!,’’ balas Patompo.
‘’Tidak bisa ka..tidak bisa ka…,’’ jawab Ahmad Karim.
‘’Itu seperti waktu PSM melawan Jayapura. Itu Jayapura orang lain. Jangan mako Jayapura’’.

BACA JUGA:  Budaya, Praktik Politik, dan Gerakan Advokasi

Seperti yang Ahmad Karim rasakan secara pribadi selama melakoni tugas sebagai wasit aman adalah ketika memimpin pertandingan dan meniup pluit panjang tanda pertandingan usai 2 x 45 menit atau ada perpanjangan dan tidak ada kemelut apa pun. (M.Dahlan Abubakar).