Pemerintah dan Krisis Tenis Meja
Ironisnya, pemerintah belum mampu menyelesaikan persoalan ini. Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo telah turun tangan pada tahun 2023 dan bahkan menyatakan telah ada kesepakatan kedua pihak untuk menengahi masalah dualisme PTMSI (sports.okezone.com).
Menpora berjanji akan memimpin normalisasi kepengurusan demi masa depan tenis meja. Namun hingga 2025 janji itu belum menampakkan hasil konkret. Keputusan membentuk federasi baru atau menengahi perseteruan berlarut seakan hanya sebatas wacana. Sementara klub-klub berjuang mencetak juara dan atlet potensial di daerah, pemerintah terkesan acuh terhadap penyatuan organisasi. Dukungan dan regulasi yang jelas tidak kunjung terbit; pembinaan nasional nyaris jalan di tempat. Lengahnya pengurus PTMSI di tingkat Pusat dalam mengurus PTMSI ini membuktikan bahwa tenis meja tidak dipandang serius sebagai prioritas, padahal olahraga ini pernah melahirkan atlet berprestasi.
Harapan dari Inisiatif Swadaya
Di tengah kekacauan itu, IPL Youth 2025 muncul sebagai secercah harapan. Inisiatif Yon Mardiyono dan jajaran IPL menunjukkan bahwa komunitas tenis meja tidak mau terus menunggu. Dukungan publik pun terlihat nyata: misalnya Pembukaan zona Jakarta dimeriahkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno, penggemar tenis meja yang aktif mempromosikan olahraga tersebut (pontianakpost.jawapos.com). Klub-klub dari Banten, Jatim, Jateng, dan daerah lain berlomba-lomba daftar meski zonanya dibatalkan; sampai akhirnya 109 klub tetap bertanding di zona lain (pontianakpost.jawapos.com).
Fakta ini membuktikan kekuatan akar rumput: terlepas dari polemik dan birokrasi, klub-klub siap menjadikan kompetisi sebagai pusat pembinaan. IPL Youth 2025 dengan enam kategori usia jelas menegaskan bahwa klub dan pertandingan adalah nafas pembangunan atlet muda.
Meski demikian, inisiatif seperti ini seharusnya bukan satu-satunya tumpuan. Pemerintah dan KONI tidak boleh hanya menonton dari pinggir lapangan. Setelah mendapat kritik tajam hingga ke tingkat pusat tentang dualisme (pontianakpost.jawapos.com), sudah selayaknya mereka bertanggung jawab. Para pembesar olahraga negeri harus segera mengakhiri dualisme PTMSI – bersatu, menetapkan sistem pembinaan terpadu, dan mendukung kompetisi – agar talenta-tenaga muda tidak terbuai janji kosong. Jika tidak, potensi besar yang mulai tumbuh melalui klub-klub ini akan terbuang sia-sia.
Pada akhirnya, IPL Youth 2025 menunjukkan satu hal penting: pembinaan tenis meja berkualitas harus berpusat pada kompetisi. Semangat klub-klub untuk berkompetisi harus dijawab dengan kepastian dari pengurus pusat dan pemerintah. Tanpa resolusi nyata atas dualisme, kita akan terus melihat acara-acara seperti IPL Youth bertahan sebagai pulau harapan di lautan kekacauan organisasi. Sudah saatnya semua pihak mewujudkan impian para atlet muda – membangun masa depan tenis meja Indonesia yang cemerlang – sebelum semangat mereka padam oleh gegap gempita politik olahraga.