Oleh: Andi Akbar (Akademisi Olahraga Praktisi Tenis Meja)
NusantaraInsight, Makassar — Indonesia Pingpong League (IPL) kembali bergulir dengan IPL Youth 2025, kompetisi usia muda yang digelar serentak pada tanggal 25–27 April 2025. Seri pertama ini melibatkan tim beregu putra dan putri untuk tiga kategori usia U-13, U-15, U-18 (Antaranew.com) .
Sekretaris Jenderal IPL, Yon Mardiyono (mantan atlet tenis meja nasional), mengungkapkan sebanyak 109 klub telah terdaftar untuk bertanding di ajang ini (Antaranew.com).
Pelaksanaan digelar di tujuh dari delapan zona yang direncanakan – yaitu Palembang, Tangerang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar (pontianakpost.jawapos.com) – setelah zona Kalimantan dibatalkan karena minim peserta. Antusiasme klub-klub daerah membuktikan bahwa panggung kompetisi memang sangat dibutuhkan sebagai wadah pembinaan.
Kompetisi dan Klub: Jantung Pembinaan Tenis Meja
Dalam tenis meja, kompetisi adalah nadi pembinaan yang sejati. Sebagaimana ditekankan dalam persiapan IPL 2024, sebuah liga profesional dapat menjadi tolok ukur kemajuan klub-klub di Indonesia (Antaranew.com).
Konsep ini kini diterapkan pada jenjang usia muda. Bahkan IPL 2024 mensyaratkan setiap klub peserta memiliki fasilitas latihan, struktur kepengurusan, dan kontrak resmi dengan pemainnya (Antaranew.com), menciptakan lingkungan pelatihan semi-profesional.
Antusiasme 109 klub peserta IPL Youth 2025 menunjukkan klub-klub siap memenuhi standar tersebut demi kompetisi. Dengan kata lain, kompetisi antar klub lah yang menjadi ujung tombak pembinaan – bukan sekadar jargon di atas kertas. Klub-klub dan Perkumpulan Tenis Meja (PTM) di daerah terbukti siap mengisi kekosongan yang ditinggalkan organisasi pusat.
Ketua KONI Pusat Marciano Norman memperingatkan bahwa konflik kepengurusan cabang olahraga hanya merugikan atlet. Dualisme PTMSI yang masih berlangsung sejak hampir 10 tahun lalu adalah salah satu contohnya (sports.okezone.com).
Persatuan Tenis Meja Indonesia terpecah menjadi dua kubu rival (bahkan pernah tiga), dan hal ini membuat pengembangan prestasi tertunda. Dampak buruknya terasa nyata: nomor tenis meja tidak dipertandingkan di PON Papua 2021, dan Indonesia absen mengirim atlet ke tiga SEA Games berturut-turut tahun 2019, 2021 dan 2023 (sports.okezone.com). Seperti kata Marciano Norman, “atlet tidak boleh jadi korban dari dualisme organisasi” (Antaranew.com) – namun nyatanya mereka terbuang akibat kebuntuan birokrasi. Sementara itu, klub-klub yang penuh inisiatif harus mengalihkan fokusnya dari pembinaan menjadi bergelut dengan konflik kepengurusan.