Santri virtual adalah wajah baru dakwah Islam yang menjawab tantangan zaman. Mereka adalah generasi yang menggabungkan tradisi dengan teknologi, menghidupkan semangat ngaji di dunia maya, dan memperluas jangkauan pesan kebaikan.
Menjadi Santri Virtual yang Beradab dan Istiqamah
Namun, menjadi santri virtual juga membutuhkan kedisiplinan batin. Tidak cukup hanya menonton kajian, tetapi harus ada amal nyata dan komitmen untuk memperbaiki diri. Seorang santri virtual seharusnya:
1. Menjaga niat — menuntut ilmu semata karena Allah, bukan karena popularitas atau kesan religius.
2. Menentukan guru yang bersanad dan jelas akidahnya — seperti KH. Abdullah Gymnastiar dan Buya Yahya yang dikenal memiliki kedalaman ilmu dan keteladanan akhlak.
3. Mengamalkan ilmu — karena keberkahan ilmu terletak pada amal, bukan sekadar pada banyaknya catatan atau tontonan.
4. Menjaga adab digital — tidak menyebarkan potongan dakwah secara serampangan, tidak berdebat kasar, dan tidak memelintir ucapan guru.
5. Membangun jaringan kebaikan — menjadikan media sosial sebagai ladang amal, bukan ajang riya atau adu argumentasi.
Refleksi Hari Santri
Hari Santri hari ini bukan hanya milik mereka yang bersarung dan berkopiah di pondok. Ia juga milik siapa pun yang menumbuhkan semangat belajar, mencintai ulama, dan menghidupkan ilmu agama di tengah kehidupan modern. Santri virtual adalah bukti bahwa pesantren telah bertransformasi melampaui ruang fisik, namun tetap berakar pada nilai-nilai lama: adab, ilmu, dan ketulusan.
Kita bersyukur, di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang sering membawa kebisingan dan kebingungan, masih banyak orang yang menjadikan media sosial sebagai sarana ngaji, merenung, dan memperbaiki diri. Inilah bentuk baru jihad intelektual dan spiritual — jihad melawan kelalaian, melawan hoaks, dan melawan hati yang lalai dari Allah.
Penutup
Menjadi santri virtual berarti menjadi bagian dari mata rantai keilmuan Islam yang terus hidup, hanya saja bentuknya kini berbeda. Tidak ada pesantren tanpa menara, tidak ada guru tanpa kehadiran fisik, namun ada cinta dan takzim yang tetap mengalir melampaui jarak.
Saya bersyukur menjadi santri virtual dari dua sosok ulama besar — KH. Abdullah Gymnastiar dan Buya Yahya. Dari keduanya saya belajar bahwa ilmu itu bukan hanya hafalan, tetapi cahaya yang menerangi hati. Dan cahaya itu bisa sampai kepada siapa pun yang bersungguh-sungguh mencarinya, meski melalui layar kecil di genggaman tangan.
Selamat Hari Santri.
Semoga semangat para ulama dan santri terus menghidupkan jiwa kita — di dunia nyata maupun di dunia maya.
Makassar, 22 Oktober 2025


br






br






