Santri Virtual: Generasi Baru Penuntut Ilmu di Era Digital

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Hari Santri yang setiap tahun diperingati pada 22 Oktober bukan sekadar momentum mengenang perjuangan para ulama dan santri tempo dulu. Lebih dari itu, ia menjadi cermin bagaimana semangat menuntut ilmu dan mencintai ulama terus hidup lintas zaman — bahkan di era digital ini, semangat itu menjelma dalam bentuk baru: santri virtual.

Makna Santri di Zaman Digital

Dalam pengertian klasik, santri adalah mereka yang tinggal di pondok pesantren, menimba ilmu di bawah bimbingan seorang kiai. Mereka hidup sederhana, tekun mengaji, dan terikat dengan adab serta disiplin pesantren. Namun, di era informasi yang serba terbuka ini, batas antara “mondok” dan “tidak mondok” mulai melebur. Muncul generasi yang menimba ilmu agama tanpa harus tinggal di pesantren, tetapi tetap memiliki hubungan batin, kedekatan spiritual, dan rasa hormat mendalam kepada sang guru. Mereka inilah yang dapat disebut santri virtual.
Santri virtual bukanlah fenomena pengganti santri konvensional, melainkan perluasan makna dari semangat keilmuan itu sendiri. Dengan teknologi, pesantren kini tak lagi terbatas oleh tembok, menara, atau lokasi geografis. Ia telah bertransformasi menjadi pesantren maya, tempat para pencari ilmu berkumpul melalui ruang digital — lewat YouTube, Instagram, Zoom, TikTok, atau podcast dakwah.

BACA JUGA:  Disebutkan Al-Quran, Ternyata Tanaman ini Berasal dari Indonesia

Kedekatan Spiritual tanpa Sekat Ruang
Menjadi santri virtual bukan berarti meniadakan adab atau kedekatan dengan kiai. Justru, hubungan itu tumbuh melalui kesadaran spiritual yang lahir dari hati. Meski tak pernah mencium tangan sang guru secara fisik, seorang santri virtual tetap berusaha menjaga adab, menghormati, dan mengamalkan ilmu yang diajarkan. Mereka hadir dalam majelis ilmu melalui layar, namun hatinya tetap tunduk dalam takzim.
Sebagai contoh pribadi, penulis termasuk salah satu yang berbahagia menjadi santri virtual dua kiai besar: KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Buya Yahya. Dari Aa Gym, saya belajar tentang kebeningan hati, pentingnya mujahadah dan keikhlasan dalam beramal. Sementara dari Buya Yahya, saya menyerap keilmuan fiqih dan adab bersosial yang lembut namun tegas. Meski saya tidak pernah mondok di pesantren mereka, setiap tausiyah, nasihat, dan untaian kalimat yang beliau sampaikan terasa menembus ruang batin — seolah sedang duduk di hadapan mereka.
Inilah yang membuat santri virtual memiliki rasa keterikatan rohani yang tidak kalah dalam dengan santri yang tinggal di pondok. Mereka menyerap ilmu bukan sekadar dari kata-kata, tetapi dari keteladanan yang terpancar melalui lisan, sikap, dan keikhlasan para ulama.

BACA JUGA:  NU Sukses Gelar Makassar Bermunajat

Teknologi sebagai Sarana, Bukan Pengganti Adab

Era digital telah membuka peluang besar bagi dakwah Islam. Majelis taklim kini dapat diakses siapa pun, kapan pun, di mana pun. Namun, di sisi lain, dunia maya juga membawa tantangan tersendiri. Tidak semua yang berlabel “kajian” memiliki sanad keilmuan yang jelas. Di sinilah pentingnya sikap selektif dan beradab bagi para santri virtual.
Santri virtual sejati tidak mudah terjebak pada euforia konten, tetapi tetap menjunjung tinggi adab kepada ilmu dan guru. Mereka menyimak dengan penuh perhatian, tidak berdebat tanpa dasar, dan berusaha mengamalkan ilmu yang diterima. Di ruang digital, adab menjadi filter paling utama agar ilmu tetap membawa berkah, bukan justru menumbuhkan kesombongan intelektual atau fanatisme buta.
Teknologi hanyalah alat; ruhnya tetap pada niat dan adab. Jika seorang santri virtual memanfaatkan teknologi dengan hati yang jernih, maka setiap notifikasi bisa menjadi panggilan menuju zikir; setiap video dakwah menjadi pengingat untuk taat.

Santri Virtual sebagai Jembatan Umat

Dalam konteks sosial, santri virtual memiliki peran strategis. Mereka bisa menjadi jembatan antara pesantren dan masyarakat luas. Melalui media sosial, nilai-nilai keislaman yang moderat, damai, dan beradab dapat disebarkan dengan cara yang kreatif dan menyentuh. Banyak santri virtual yang kemudian menjadi content creator dakwah, membuat potongan video tausiyah, menulis refleksi keagamaan, atau membangun komunitas digital yang inspiratif.

br
br