Oleh: HM. Arfin Hamid
(Guru Besar Hukum Islam dan Ekonomi Syariah Unhas, Ketua Program Kenotariatan Unhas dan Ketua MUI Sul-Sel)
NusantaraInsight, Makassar — Pada kesempatan dan suasana yang begitu indah ini bolehlah kita mengajukan pertanyaaan, apakah kita semua yang puasa Ramadhan sudah lolos kriteria masuk dalam barisan yang diharapkan oleh Allah, agar menjadi muttaqun, orang bertaqwa. Karena orientasi puasa itu littaqarrub ilallah wa la’allakum tattaqun.
Perlu dilakukan pengujian betulkah kita semua sudah meraih atau masuk kategori muttaqun, insyaalah perasaan kita semua sudah finalis muttaqien. Tapi mari kita coba mengujinya dengan menggunakan pendekatan, sebuah Hadis Rasullullah dari Abu Hurairah dan Muttafaqun-alaih, man shama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbih (barang siapa yang berpuasa ramadhan penuh dengan iman yang sungguh-sungguh (berkomitmen hanya karena Allah), diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Apa makna terdalam hari hadis ini, nabi menjamin selama berpuasa suntuk diampuni dosa-dosa kita yang terdahulu apalagi dosa yang mutakhir, maka simpulannya kita sudah dikategorikan muttaqun, sekalian juga dimaknai kita semua sudah meraih, la allakum tattaqun sebagai tujuan akhir dari berpuasa.
Beranjak dari hadis itu, Rasulullah memberikan janji, jaminan, bahkan bonus yang luar biasa kepada umat Islam yang berpuasa dengan Imanan wa Ihtisaban (IwI), iman yang sungguh-sungguh, dengan semangat yang tinggi, hanya dengan komitmen karena Allah (lamardhatillah), maka selain ia akan mendapatkan kualitas puasa beserta segenap amalan Ramadhan yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Ia juga difitrahkan (disucikan) berupa ampunan gufhira lahu ma taqaddama min zanbih, diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. Semoga kita semua yang hadir Mesjid Darul l Falah ini berada dalam kualifiksi seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw, dan Allah memberikan gelar/status kehormatan tertinggi yaitu muttaqun dari janji Allah, la allakum tattaqun.
Pada pagi hari ini juga kita sedang rayakan idul fitri (kembali menjadi suci), sekaligus melepas kepergian ramadhan yang penuh berkah, maghfirah, azhim, sayyidus-syuhur, dan yudha’afu liman yasya’. Nilai dan semangatnya tetap terintegrasi dan melekat dalam jiwa kita masing-masing, terutama nilai/semangat muttaqun dan Imanan wa Ihtisaban (IwI), sudah harus diterjemahkan secara global dan multimedia, semangat sungguh-sungguh itu bukan saja dilekatkan pada puasa ramadhan yang harus kita relakan kepergiannya sekarang ini, melainkan harus ditranformasikan/ dipindahkan ke seluruh aktivitas keseharian kita dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, yang meliputi semua bentuk kegiatan oleh anak bangsa baik sebagai aparatur negara ataupun sebagai warga negara biasa, baik secara institusional maupun secara personal.