Sebagaimana Firman Allah SWT surat al Hajj ayat 27 yang artinya :
Artinya: “Dan serulah kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyeru manusia agar datang ke Baitullah untuk melaksanakan haji. Mereka akan datang dari berbagai penjuru, baik dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan unta yang kurus.
Ayat ini juga menekankan pentingnya haji sebagai ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Selain itu, ayat ini juga menggambarkan kemuliaan haji sebagai ibadah yang melibatkan perjalanan dari berbagai penjuru untuk berkumpul di satu tempat suci
Istilah ini saya angkat dalam buku saya sebagai simbol perjuangan spiritual dan fisik yang nyata. Ketika saya menjalani wukuf di Padang Arafah, suhu mencapai lebih dari 50 derajat Celsius.
Tidak seperti jamaah haji reguler yang mendapat tenda ber-AC, kami hanya berlindung di bawah tenda biru sederhana di antara pepohonan. Dari Muzdalifah ke Mina, lalu ke Masjidil Haram, kami berjalan kaki, tanpa kendaraan, tanpa fasilitas nyaman. Tapi justru di situlah kami merasakan betapa besar perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu—berhaji tanpa AC, tanpa bus, hanya dengan kekuatan iman dan keteguhan hati.
Inilah makna dari “haji dengan unta kurus”—sebuah ibadah yang dijalani dengan penuh kesungguhan, di tengah keterbatasan, namun tetap dilandasi harapan untuk meraih ridha Ilahi.
Seiring perkembangan zaman, perjalanan ke Tanah Suci memang semakin dimudahkan oleh berbagai sarana transportasi—darat, laut, maupun udara. Para ulama pun sepakat bahwa menunaikan haji dengan kendaraan modern adalah sah dan dibolehkan, selama tidak melanggar syariat. Kita dapat berhaji naik kapal laut, pesawat, atau kendaraan darat lainnya, ditambah fasilitas tenda bee-AC. Dan kita juga harus mengapresiasi positif para penyelenggara dengan niat baik menyiapkan segala fasilitas agar jamaah haji merasa nyaman untuk beribadah.
Namun satu sisi, perjalanan darat atau perjalanan yang lebih berat tetap memiliki nilai lebih, karena mendekati cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para generasi awal umat Islam. Semakin besar pengorbanan dan kesungguhan dalam ibadah ini, semakin besar pula potensi ganjaran pahalanya di sisi Allah SWT.
Jemaah haji asal Indonesia, secara umum, tampak didominasi oleh mereka yang sudah lanjut usia. Tidak sedikit pula yang secara fisik tampak sangat lemah. Seusai salat Subuh, saya sempat menjumpai seorang jemaah laki-laki yang berjalan sempoyongan dalam perjalanan kembali ke hotelnya. Gerak langkahnya tidak stabil, seperti orang yang pernah terserang stroke ringan—sulit melangkah dan sesekali tampak hampir terjatuh. Saya mencoba menuntunnya dan mengajaknya beristirahat sejenak di tangga masjid.