Dapat kita nyana, dilema yang mengamuk dalam samudera batin sang Nabi, Bapak Tauhid itu. Terombang-ambing diantara, melayani kehendak nafs/ego/diri atau berpasrah kepada kebaikan nurani.
Nabi Ibrahim AS, memutuskan untuk mengorbankan egonya/nasfnya, dan menyerah kepada kemuliaan KehendakNya.
PerintahNya itu dipatuhi dengan segenap jiwa raga, dengan “mengorbankan” atau menyerahkan “harta yang paling dicintainya”, buah hati dari kasih sayangnya.
Sebagai utusan, sang Nabi mengukir ilmu abadi tentang “penyembelihan diri” menuju “diri yang hakiki”. Nasf/ego adalah diri yang palsu. Eksistensinya harus “sembelih” dalam pengorbananan jalan kesejatian diri.
Diri/nafs/ego adalah sumber segala “kejahatan”, karenanya penciptaNYa, minta untuk di “serahkan” kembali melalui “prosesi penyembelihan”. Agar yang nampak adalah diri Yang Sejati.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar; La ilaha illah hu Allah hu Akbar; Allahu Akbar wa lillahil Hamdu…
Gemanya lahir, dan gemanya batin. Gema dalam batin, akan menyembelih hewan yang bersembunyi di balik kelambu kalbu. Gema dalam lahir, akan mengajari tubuh jasad, bergembira dalam hening surgawi di dunia.
Inilah akar peradaban paling purba dalam sejarah ummat manusia. Tuhan semesta alam, tidak menghancurkan sebuah peradaban, kecuali karena adanya ketidakpatuhan didalamnya. Lalu Dia, menggantinya dengan yang lebih baik.
Peradaban yang mendorong pada pelayanan dan pemenuhan pada hazrat nafs/ego/diri, adalah peradaban “ketidakpatuhan”. Kelak juga akan menemukan titik “punahnya” ditangan penciptanya sendiri, perlahan dan pasti.
Meski telah berlalu, talu bertalu gema takbir, tahmid dan tahlil itu, dari waktu yang hampir membumbung di ujung ubun-ubun, masih terngiang makna yang dibawanya besama: membesarkanNya dalam keberadaaNya, dan tidak patuh selain dari padaNya, lalu mensyukuriNya, menjadi tanah subur maknawi bagi peradaban ummat manusia.
Namun, seiring musim bergeser dari arah Barat menuju ke Timur, manusia terlena dalam mimpi indah dunia yang penuh pernak pernik nan gemerlap.
Adab duniawi makin mapan dan matang, namun adab ilahiyah, makin nampak di depan mata saja, sublimitasnya menguap bersama busa-busa liar nasf yang membuncah.
Oh, Ibrahim… Makin jauh rasanya.
SM. 17/6/2024