Terkapar

Oleh : Muhammad Amir Jaya

NusantaraInsight, Cerpen — Ruang tamu yang berukuran sekitar 4 x 4 meter itu hening beberapa saat. Tak ada suara. Lampu dipadamkan. Hanya secercah cahaya bersinar di celah gorden.
Orang-orang yang duduk melingkar di ruang tamu itu tampak selintas menundukkan kepala. Wajah-wajah mereka tak tampak jelas. Mereka sangat khusyuk.
Apa sesungguhnya yang mereka lakukan di malam hening itu? Mereka sedang berbisik-bisik dengan Tuhannya. Mereka adalah komunitas majelis zikir yang setiap malam Jumat menyiapkan waktunya berkumpul mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Dengan dipimpin seorang Guru, mereka mengikuti apa yang diarahkan oleh Gurunya.
Tetapi tiba-tiba ada suara dari sosok lelaki yang baru masuk di ruang tamu itu. Dua lelaki dengan pakaian rapi dan memakai peci hitam segera mencari tempat duduk. Namun sosok lelaki agar gendut itu tampak heran. Memang dia adalah calon jamaah baru di komunitas zikir tersebut. Namanya Daeng Dundu. Kesehariannya berprofesi sebagai pedagang di pasar. Dia diantar oleh sahabatnya, Haji Nyampi, yang sudah lama menjadi jamaah.
“Kenapa gelap, Pak?” Tanya Daeng Dundu.
“Tidak apa-apa. Duduk saja di sini,”jawab Haji Nyampi seraya memegang tangan sahabatnya itu.
“Memang begini caranya ya?”Timpal Daeng Dundu.
“Jangan banyak tanya. Ikut saja dengan tenang,” bisik Haji Nyampi ke telinga sahabatnya itu.
Tetapi sahabatnya itu masih tampak gelisah. Selain ruangan itu gelap, juga karena orang-orang yang ada di ruangan itu tak ada satu pun yang memandanginya. Semuanya tertunduk dan menutup mata.
Sang Guru mulai bersuara. Terdengar lirih, namun suaranya lembut dan sangat jelas diksinya.
“Mohon maaf, ada jamaah baru. Selamat datang di majelis zikir ini. Mudah-mudahan semua jamaah yang hadir pada malam hari ini mendapat limpahan berkah dan rahmat-Nya,”kata Sang Guru.
Serentak jamaah yang hadir mengucapkan, “Aamiin”
“Kepada jamaah baru, sengaja lampu dipadamkan agar kita lebih khusyuk berzikir,” kata Sang Guru. Menjawab bisikan-bisikan hati Daeng Dundu, yang terus bertanya-tanya, kenapa lampu dipadamkan.
Ternyata jawabannya, agar jamaah lebih khusyuk berzikir kepada Allah SWT.
“Mari perbaiki niat kita. Kita bersalawat dan berzikir hanya karena Allah semata,” kata Sang Guru.
Sedetik kemudian mengalirlah salawat jibril di bibir Sang Guru dan seluruh jamaah.
“Sallallahu ala Muhammad, sallallahu ala Muhammad, sallallahu ala Muhammad……”
Mendengar salawat yang dilantunkan Sang Guru dan jamaah, membuat Daeng Dundu gemetar. Tubuhnya terguncang. Jantungnya berdebar-debar. Tiba-tiba tubuhnya meliuk-liuk.
“Panas, panas, psnas,” teriak Daeng Dundu.
Semakin keras salawat dilantunkan, semakin terkapar tubuh Daeng Dundu. Dia berteiak-teriak sembari kedua tangannya menjambrat apa saja yang ada disekelilingnya.
“Hentikan! Hentikan! Panas! Panas!”
Daeng Dundu terus berteiak-teriak. Tetapi Sang Guru dan seluruh jamaah terus melanjutkan salawatnya. Tak satu pun jamaah yang peduli dengan Daeng Dundu, yang suaranya mulai parau. Mereka membiarkannya terkapar dan menggelinjang.

BACA JUGA:  SIERA BUKIT CINTA