Nur Amelia menulis, pertama kali membaca puisi karya Remy Sylado ini, kesan yang saya dapat yaitu simpel dan realistis. Seperti kita sedang menonton adegan yang sangat intim dan ditulis dengan cara yang blak-blakan. Tetapi, begitu sampai di bagian akhir, tiba-tiba saya sadar kalau ternyata Mei Hwa ada di Taipei dan Farouk di Kairo, yang artinya mereka sebenarnya dua orang yang sangat jauh dan terpisah ribuan kilometer.
“Perasaan saya awalnya campur aduk. Awalnya agak bingung, ada juga kaget karena penggambaran adegannya diulang-ulang dan datar. Tetapi, pas sampai “ending”-nya, ada ‘twist’ (kejutan) yang membuat saya sebagai pembaca berpikir lebih dalam. Mungkin puisi ini tentang hubungan jarak jauh, atau bisa jadi simbol kesetiakawanan antara Asia dan Afrika yang, meskipun berbeda tempat dan budaya, tetap saling terhubung oleh perasaan kemanusiaan yang sama.” tulis Nur Amalia.
Satu catatan kritik di dalam puisi ini, Remy Sylado berusaha menggiring persepsi pembaca larut dalam keseragaman, selain tindakan, juga dalam hal waktu. Pemilihan waktu yang seragam itu untuk menyamakan semua apa yang dilakukan kedua sosok di dalam puisi tersebut.
/Mei Hwa masuk kamar jam 24.00/Farouk masuk kamar jam 24.00/.
Perbedaan waktu ini sebenarnya baru terungkap setelah kita membaca dua baris terakhir. Di sinilah kelihaian penyair memanfaatan ‘penyimpangan’ untuk mencapai keseragaman makna.
Dari awal sebenarnya kita dapat mengidentifikasi arah puisi ini dengan melihat nama keduanya. Mei Hwa merupakan sapaan terhadap warga Taiwan dan Tiongkok, sementara Farouk merupakan nama yang banyak dikenal di dunia Arab.
Begitulah cara Remy Sylado “mengamuk-amuk” emosi pembaca melalui puisinya yang satu ini. Awal-awalnya kita dibawa ke dunia yang sangat ‘pornografis’, namun di pengujung puisi, pembaca dibuat terkesima. Oh…(*).