Prof. Mardi: Prof. Nurhayati Rahman Putri Sang Fajar

By Rahman Rumaday
(Founder K-apel dan Kampus Lorong K-apel)

NusantaraInsight, Makassar — Ada saat-saat dalam sejarah intelektual kita di mana sebuah buku tak hanya dibaca, tapi direnungi. Tak hanya dirayakan, tapi dimaknai. Dan pagi kemarin tepatnya pada hari Rabu, (24/9/2025) di Aula Mattulada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, sebuah atmosfer semacam itu tercipta.

Bukan karena riuh tepuk tangan, bukan pula karena formalitas diskusi buku, bukan juga dari diskusi akademik, melainkan karena hadirin seolah sedang memasuki dimensi lain yakni ruang antara biografi dan kebijaksanaan, antara riwayat hidup dan filsafat hidup.

Buku yang dibincangkan adalah “Aku Diantara Santri dan Tradisi”, sebuah memoir dari Prof. Dr. Nurhayati Rahman, M.Hum. akademisi, intelektual perempuan, sekaligus penjaga tradisi dan budaya warisan leluhur melalui sebuah karya besar yang mendunia yakni La Galigo, yang tak jemu mengabdi dalam senyap.

Namun yang menjadikan bincang buku ini istimewa bukan hanya karena sosok penulisnya, melainkan karena bagaimana buku itu menghidupkan kembali sebuah filosofi hidup, juga suluh senyap di tengah arus perubahan zaman.

BACA JUGA:  Aku Ingin Seperti Hangat Kopi

Akan tetapi kekuatan buku ini melampaui penulisnya. Ia bukan sebatas catatan perjalanan pribadi, melainkan cermin eksistensial bagi siapa saja yang sedang mencari makna di tengah kebisingan dunia modern.

Para narasumber pada bincang buku tersebut adalah :
Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum. (Akademisi)
Drs. Mahrus Andis, M.Si (Esais, Kritikus sastra)
Dr. Ilham, S.S.,M.Hum (Sejarahwan)

Dengan Moderator Yudhistira Sukatanya (Editor, pegiat literasi)

Di tengah diskusi itu, Prof. Dr. Mardi Adi Armin menyampaikan satu kalimat yang mengendap seperti mantra kalimat itu adalah, Kalau Bung Karno adalah Sang Surya, maka Prof. Nurhayati adalah Putri Sang Fajar,” ucap Prof. Mardi memulai pembicaraannya

Sebuah simbol yang tidak lahir dari pujian kosong, melainkan dari permenungan mendalam. Karena fajar bukan hanya waktu, melainkan peristiwa kosmik yakni saat gelap mulai retak, ketika kesadaran mulai menyala.

Fajar adalah titik peralihan antara kegelapan dan cahaya, antara keputusasaan dan harapan. Dan dalam narasi Prof. Mardi, Prof. Nurhayati adalah perempuan yang tak hanya hadir dalam fajar itu tetapi menjadi fajar itu sendiri.

BACA JUGA:  Bincang Buku Misteri Jalan Setapak dan Menanjak, Fiam: Menulis itu Misteri

“Prof. Nur lahir dalam suasana tantangan perang di tengah hutan saat itu. Akhirnya, itu membentuk pribadinya yang tangguh,” Prof. Dr. Mardi Adi Armin

Namun ketangguhan di sini bukan jenis yang keras atau bising. Ia adalah ketangguhan yang hening, seperti batu karang yang tidak pernah mengeluh meski terus dihantam gelombang.