Perjalanan Kepenyairan Pulo Lasman Simanjuntak Sepanjang Empat Puluh Tiga Tahun

Perjalanan dilanjutkan menerobos gunung dan bukit meliuk-liuk
mayat-mayat yang diawetkan…….

Jayapura-Wamena
Minggu Desember 2015

Anakku ‘Hilang’ Ditelan Ombak , Kesepian Jadi Batu

Anakku yang gagah sedang menghitung pecahan matahari
terbenam di tubuh laut
Selat Sunda-tanah Banten- situs berdarah.

Seperti burung rajawali, ia sering terbang kian-kemari
sangat liar ,dan bikin kesal hati.

Lihatlah, gigi-giginya yang tumbuh membusuk
seperti karang-karang terjal di atas pasir putih Pantai Florida
yang pagi itu hatiku semakin berwarna warni.

Lalu terjadilah pendarahan dalam kesunyian sendirian di sawung kelam.
Mengapa aku tak bisa berenang? tanya kawan seiman.

Padahal anakku telah gunakan kacamata hitam
untuk memotret ikan-ikan yang bisa terbang
sampai menembus cakrawala kekelaman.

Duh, tubuh dan kulitnya berubah warna;
seperti tak kukenal lagi
dari rahim bumi mana ia menetas.

Ayo…lari….larilah…. kucing anggora anakku …..menuju karang-karang terjal
menuju ombak yang menggulung angin malam
cuaca kian membeku .

Resiko ke depan bukan milikku lagi.
Sebab hanya ada satu pilihan : ikut Tuhan, atau ikut Baal !

BACA JUGA:  Ananda Sukarlan Award Bukan Hanya Perayaan Musikal, Tetapi Juga Puitik: Sebuah Analisa

Pamulang, Juli 2015

Sajakku Dikepung Asap Pekat 1.060 Titik

Menghitung sembilan puluh hari
tanpa matahari pagi
lalu ditambah tiga kali dua puluh empat jam
jadilah bola mataku (memerah)
berwarna mata srigala hutan
paru-paruku kembali dibakar
di tubuh Sungai Musi
yang telah menghilang dari garis peta buta.

Lalu dari badan Jembatan Ampera
tanpa kapal kayu-tanpa nelayan -kembali kubangun mimpi-mimpi luruh ini.

Mengapa zaman pra sejarah nenek moyang Pulau Sumatera
belum ciptakan api
asap yang berangkat dari sebuah titik panas.

Lihatlah hutanku yang kembali dibakar sangat mencengangkan.

Benar kata Pujangga melayu: bangsa ini harus bertobat sungguh-sungguh!
Bukan andalkan teknologi bom air
yang sewaktu-waktu dapat meledakkan kota ini
jadi sebuah daratan gambut
tak berpenghuni.

Palembang,,Rabu 21 Oktober 2015

Kuterbangkan Sajakku Lima Puluh Meter

Dengan hati cemas
penghuni kota mulai berlari-lari
mengejar api dan bau asap menyengat
timbul dari masing-masing ketiak
– angin jahat berhembus- menembus kaca jendela rumah .

Semua mulut butuh masker
menghindari binatang liar
membawa racun tumbuhan ke atas ranjang.

BACA JUGA:  Museum Benyamin Sueb akan Digelar Baca Puisi Penyair Perempuan Merah Putih

Kota Palembang Rabu 21 Oktober 2015

Mendaki Bukit Tuban

diselimuti hujan
tubuhnya yang letih
berkejaran waktu
dengan derasnya
aliran sungai dari bukit sebrang.

Lalu kami bersekutu
ladang-ladang batu
bersolek sejak dinihari
tanpa menghadap matahari.

Desaku tak lagi muntahkan
doa pagi
bagi hari perhentian yang dilipat-lipat.