PERGINYA GURU BESAR ILMU BIARIN

Guru Besar Ilmu Biarin Yudhistira Massardi
Guru Besar Ilmu Biarin Yudhistira Massardi

Pukul 03.30 saya sudah berada di dalam mobil Mas Yudhis. _Nebeng_ pulang. Mas Yudhis berkomentar. “Gila lu, Mal, bikin gue ke kantor tengah malam dan pulang subuh. Untung tulisan lu bagus, jadi nggak perlu gue edit. Asal jangan sering-sering kayak gini,” katanya tertawa. “Tapi gue salut, semangat lu bikin tulisan terbaik itu keren. Lu punya bakat sebagai prosais. Nggak pengen nulis novel?” tanyanya. “Belum ada niat, Mas,” jawab saya. “Kayaknya nulis novel susah.”

2/
Itu salah satu kehebatan Mas Yudhis sebagai atasan, seorang mentor. Meski dirinya sudah terkenal sebagai penyair nasional, tampil di pusat-pusat kebudayaan terkemuka, dan menerima banyak penghargaan, namun tetap bersahaja dan selalu mendorong para yunior untuk berkembang tanpa memberikan beban penugasan berlebihan. Bahkan Mas Yudhis rela mengorbankan _family time_ di akhir pekan untuk melayani reporter _ndableg_ seperti saya. Padahal sebenarnya beliau bisa bilang, “Pakai saja tulisan yang pertama, nggak apa-apa. _Gatra_ bukan majalah musik seperti _Rolling Stone_ kok.”

BACA JUGA:  Aku Ingin Seperti Hangat Kopi

Saat saya masih calon reporter dan bertanya bagaimana teori menulis liputan jurnalistik yang baik? Jawaban Mas Yudhis sederhana. “Baca aja tulisan lu setelah gue edit dan muncul di majalah,” katanya. “Nggak perlu pelajari teori jurnalistik. Lu baca aja sebanyak-banyaknya karya sastrawan Indonesia yang bagus-bagus.” Itulah gaya Mas Yudhis yang lebih _praxis_ ketimbang teoritis.

Peristiwa saya _nebeng_ pulang dari kantor kemudian menjadi tradisi kami berdua. Biasanya Jum’at atau Sabtu tengah malam/dini hari. Kendati liputan-liputan saya sering sudah disetor sejak Kamis, pada Jum’at malam saya gunakan untuk berdiskusi dengan seorang redaktur bahasa, Eddy Soetriyono (wafat 9 Oktober 2021), yang memiliki pengetahuan seni-budaya luas selain dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa bernas. Itu saya lakukan sembari menunggu Mas Yudhis selesai dengan tugasnya sebagai redaktur pelaksana.

Saat itu, seingat saya mobil Mas Yudhis adalah Suzuki Carry merah hati. Meski rumahnya di Pondok Pekayon, Bekasi, dari Wisma Kosgoro, Thamrin, beliau mengambil rute menuju Semanggi, masuk Jl. Gatot Subroto, lanjut ke Jalan MT Haryono, dan menurunkan saya di ujung Jalan Asembaris Raya, dekat Gedung Indomobil, yang berbatasan dengan aliran Sungai Ciliwung. Dari sana saya lanjutkan dengan ojek pangkalan menuju rumah orang tua di Kebon Baru, Kec. Tebet.

BACA JUGA:  Dari Aku yang Hampir Menyerah

Kebersamaan kami selama sekitar 30 menit di dalam mobil, saya manfaatkan untuk menggali pengetahuan darinya. Mas Yudhis bicara tentang sastrawan Indonesia dan karya-karya mereka, kiprahnya sebagai penulis syair lagu duo Franky & Jane, atau tentang ketiga anaknya: Igadada, Matatiya, dan Kafka Dikara. Terkadang tema-tema politik yang tabu dibicarakan di pengujung era Orde Baru menjadi topik obrolan kami sepanjang perjalanan.