Mahrus Andis “Kupas” Kaki-kaki Telanjang Amir Jaya

“Dari teknik penggarapan cerita, pengarang dapat diketahui memiliki pengalaman banyak di dunia sastra. Imaji pelukisan karakter tokoh, tercermin melalui struktur bahasa yang jelas. Sebagai contoh kekuatan imaji pengarang, saya kutipkan sepenggal cerita sebagai berikut:
“Bom meledak juga. Ketika saya lagi asyik menikmati secangkir kopi di kantin sekolah, Wati datang mendekat. Dia duduk di depan saya. Suasana kantin memang agak sepi karena siswa-siswi belum istirahat. Yang tampak hanya Ibu Lia, yang sibuk mengurusi barang-barang jualannya.”
(Di antara Dua Pilihan, hal. 2-3)
Eksposisi di atas cukup rapi menggambarkan situasi (situation) di sebuah kantin sekolah. Pada konsep imaji pembaca, kantin itu sepi, tidak ada orang lain kecuali Anwar dengan Ibu Lia, penjaga kantin sekolah. Kemudian terjadi pergerakan peristiwa (generating circumtances), yaitu tokoh Wati mendekati Anwar. Maka, alur cerita mulai memuncak (rising action) ketika terjadi dialog seperti berikut:
“Anwar, saya ingin kejujurannya. Wati yang dipilih atau saya”, kata Anti dengan suara agak tertahan.
Perpaduan struktur bahasa naratif dan dialogis di atas, sudah cukup baik dan logis. Namun, di sini terjadi “kecelakaan imajinatif”. Daya bayang pengarang tercopot dari konteks peristiwa yang sedang terjadi. Mengapa demikian? Mari kita jejaki kembali ceritanya. Wati yang dilukiskan datang mendekati tokoh saya (Anwar) pada eksposisi di atas, namun pada mikroteks berikutnya justru tokoh Anti yang muncul dalam kalimat penjelasan, bukan Wati. Ini satu eksposisi yang cacat dan seharusnya hal itu tidak terjadi, terutama jika cerpen sudah menjadi sebuah buku,” bahas Mahrus Andis.

BACA JUGA:  Lucky Caroles Pukau Peserta Lokakarya Jurnalistik

Secara keseluruhan, ulasnya lagi, kesebelas cerpen di buku ini telah membuat kaya khasanah imajinasi pembaca. Selain tematiknya multitafsir, cerpen-cerpen ini pun tak urung mengajak kita tersenyum geli dan, bahkan, bisa larut dalam sinisme sosialnya.

“Salah satu cerpen berjudul “Satu Kepala, Satu Lembar Uang Plastik”, membuat kita tersenyum lucu. Pengarang bercerita tentang seorang pengusaha sukses bernama lengkap Drs. Daeng Sibali Bin Dorra. Pengusaha ini menjadi Calon Anggota Legislatif dan berusaha untuk menang walaupun dengan cara harus menyuap masyarakat. Ide menyuap calon pemilih menimbulkan pro-kontra di pihak pendukungnya. Sebagian Tim Sukses setuju dan sebagian lagi menolak karena dinilai perbuatan tersebut melanggar ajaran agama.
“ …
Jangan menyuap rakyat. Saya tidak setuju. Itu haram dalam pandangan agama”, kata Daeng Sitaba mengingatkan.
“Kalau begitu, kita bersedekah saja kepada masyarakat. Saya siapkan lima ratus juta rupiah. Satu lembar uang plastik setiap kepala. Minggu ini sudah bisa dibagikan. Ini murni sedekah. Kalau kelak memilih kita, alhamdulillah. Tidak memilih juga tidak apa-apa,” kata Daeng Sibali dengan tenang …
(Hal, 59-64). Gelitik kelucuan cerpen ini terletak pada ending ceritanya. Pada saat Caleg Daeng Sibali berpikir bahwa tidak akan dapat meraih suara tanpa menyuap atau menyogok masyarakat, dan idenya ini ditentang oleh Daeng Sitaba, ia pun mencari ide lain. Daeng Sibali ingin mengubah pemberian suap menjadi sedekah uang plastik kepada masyarakat. Justru Tim Sukses setuju tanpa ada pertanyaan: seperti apa, dan bagaimana cara menyuap calon pemilih dengan uang plastik itu,” ulasnya.

BACA JUGA:  Road Show Terakhir TISI Tahun 2024, Nonton Baca Puisi dan Musikalisasi Dapat Buku dan Uang Jajan Bakso di Kota Tua

Mahrus Andis juga menganjurkan untuk memiliki buku setebal 71 halaman ini.

“Tentu saja kurang apresiatif apabila kita tidak membaca keutuhan Kumpulan Cerpen “Kaki-kaki Telanjang” ini. Karena itu, saya menganjurkan memiliki buku tersebut, dengan memesan langsung ke alamat penerbit Arya Pustaka, Jl. Kemauan V No. 17, Kota Makassar,” tutupnya.