Mari mulai perbincangan dengan ngobrol santai soal buku kumpulan surat cinta yang berjudul Balutan Asmara La Ruhe ( BALR ) apa layak dibaca?
Jika ya, kenapa tulisan-tulisan intim itu layak dibaca, dan apa yang bisa kita peroleh dari membacanya. Apakah buku ( BALR ) tersebut perwujudan dari antologi surat cinta yang baik, enak dibaca dan perlu?
Apakah isi buku yang ditulis oleh La Ruhe tersebut benar-benar berisikan ungkapan perasaan yang paling mengetarkan hati dengan jalinan kata romatis, yang paling rahasia, romantika yang tak sama dengan apa yang pernah diungkapkan orang lain ?
Apakah buku yang berjudul Balutan Asmara La Ruhe ( BALR ) patut diterbitkan?
Mengintip, menyibak, menggeledah dan menelaah teks pada 116 lembar-lembar buku BALR yang memuat 44 judul tulisan, menjadi cara saya membincangkannya dengan penasaran guna menemukan jawaban bagi pertanyaan.
Mari mulai dengan telaah gaya penulisan La Ruhe.
Gaya Akrostik
Pada lembar pengantar buku BALR halaman iii dengan jelas La Ruhe menyatakan bahwa surat-suratnya bergaya akrostik.
Akrostik sering digunakan untuk menyampaikan pesan tersembunyi, mengungkapkan perasaan, atau sebagai sarana kreatif dalam menulis kalimat atau puisi. ( baca; Gaya dan Gesit, ayu dan anggun, dialogis dan diskusi ilmu dan iman, setia dan sabar – diakronimkan GADIS – halaman 2 “Balutan Asmara La Ruhe” )
Akrostik sudah ada sejak zaman Aratus, penyair didaktik abad ke-3 SM, yang puisinya ditiru oleh Cicero dan Virgil.
Gaya ini ditemukan dalam karya sastra kuno Yunani dan Romawi. Akrostik adalah dimana pada sebuah awal bait atau paragraph kalimat baru, huruf pertamanya menampilkan sebuah kata atau abjad pilihan.
Atau pada setiap barisnya huruf awalnya kemudian membentuk sebuah kata atau pesan tertentu ketika dibaca secara vertikal.
Kata Akrostik berasal dari kata Prancis acrostiche dari kata Latin pasca-klasik acrostichis, dari kata Yunani Koine. Dalam model ini, nama subjek dieja secara vertikal, dengan setiap huruf memulai baris baru puisi.
Selama abad pertengahan, puisi akrostik terus populer, dengan banyak penyair menggunakannya sebagai cara untuk mengekspresikan pengabdian religius mereka sebagaimana terdapat contohnya dalam Alkitab Ibrani, dari Kitab Mazmur hingga Kitab Ratapan. Jadi, tidak tepat jika dikatakan akrostik baru populer di abad ke-20, meski pun di Indonesia popular dalam puisi pada sekira tahun 80-90-an.
Pada tulisan gaya akrostik biasa, huruf pertama setiap baris membentuk kata atau pesan Ketika dibaca “menurun”. Kemudian akrostik terbalik, huruf terakhir setiap baris membentuk kata atau pesan.

br






br






