NusantaraInsight, Makassar — Andi Ruhban dengan nama pena La Ruhe membawa kumpulan surat cinta yang kemudian dibukukan untuk dibedah di Rumah De La Macca Jalan Borong Raya nomor 75a Makassar, Jumat (15/8/2025).
Tampil sebagai pengulas adalah Rusdin Tompo (Koordinator Satupena), Goenawan Monoharto (sastrawan dan penerbit) dan Yudhistira Sukatanya (sutradara teater dan budayawan) serta dipandu oleh Ishakim (seniman).
Acara yang didukung oleh Forum Sastrawan Indonesia Timur (Fosait) ini digelar terbatas dan dihadiri oleh sejumlah Sastrawan dan budayawan Sulsel, terlihat ada Mahrus Andis (Kritikus Sastra), M. Amir Jaya (Presiden Fosait), Anwar Nasyaruddin, Syahril Patakaki, Anil Hukmah, Asnawin Aminuddin, Bahar “Petta Puang” Merdhu dan Rahman Rumaday.
Guratan Cinta La Ruhe yang terdiri dari 38 surat cinta dan 129 halaman ini, merupakan 1 bagian dan trilogi buku kumpulan surat cinta yang telah tersimpan menjadi arsip selama 30 tahun ini.
Bahkan saking lamanya, pengumpul naskah (Rahman Rumaday) perlu membeli kaca pembesar (lup) untuk dapat melihat secara jelas setiap huruf yang tertulis di atas kertas yang sudah menguning termakan usia.
Butuh 2 tahun hingga buku ini dapat diterbitkan, seperti ulasan Goenawan Monoharto karena sulitnya menulis ulang naskah-naskah yang telah tersimpan selama 30 tahun. Bahkan menurut pengakuan La Ruhe sendiri masih banyak balasan surat yang tak terselamatkan karena digerogoti usia.
“Naskah surat cinta yang saya kirim selalu tersimpan rapi karena jika saya menulis surat cinta, saya melapisi dengan karbon sehingga setiap surat yang saya kirim, ada arsip yang tersimpan,” ungkap La Ruhe.
Buku Balutan Asmara La Ruhe yang terdiri dari 38 surat cinta dan setebal 116 halaman ini diterbitkan oleh CV De La Macca dengan tata letak oleh Anwar Nasyaruddin serta penghimpun dan desain sampul oleh Rahman Rumaday.
Dibedah Habis Oleh Rusdin Tompo
Rusdin Tompo, yang tampil sebagai pengulas pertama menyebutkan beberapa catatan terkait buku Balutan Asmara La Ruhe ini.
Ia membedah bahwa buku ini sewaktu akan diolah dipertimbangkan mau dibikin apa. Ia juga menyoroti konsistensi penulisan serta tanda baca dan penulisan yang tepat.
Bukan itu saja, mantan Ketua KPID Sulsel ini mempertanyakan etika dari buku yang merupakan arsip pribadi yang sifatnya privasi, lalu dibuka jadi dokumen publik.
Bahkan secara “keras” ia menyebutkan bahwa buku ini menggambarkan “lika liku laki-laki yang tak laku-laku” pada periode tertentu. Buku ini juga menggambarkan bahwa sosok penulis memiliki Cinta platonis = orang mendadak jadi penyair ketika jatuh cinta