Dende Tamari menjadi simbol keberanian perempuan yang menolak tunduk pada hukum yang tidak adil. Ia memilih mati di lubang batu daripada menyerah pada tirani. Dalam konteks Lombok, sosok perempuan seperti ini jarang ditampilkan secara heroik—dan di situlah letak keberaniannya.
Ia melawan tidak dengan pedang, tetapi dengan tekad moral dan cinta pada kebenaran.
Kongso menambahkan bahwa Antigone ditulis oleh Sophocles pada masa Yunani telah mengenal demokrasi dan kesetaraan gender. Ironisnya, ketika naskah itu diadaptasi ke konteks Indonesia hari ini, isu-isu tersebut masih terasa aktual bahkan menantang.
“Itu menunjukkan kita jauh tertinggal dalam memahami paradigma pemikiran sosial,” katanya. Maka, teater—bagi BAM—bukan sekadar hiburan, tetapi ruang pembacaan ulang terhadap masyarakatnya sendiri.
Dalam diskusi selepas pementasan, perbincangan melebar pada posisi teater sastra di tengah derasnya arus teater media baru. Kongso Sukoco menekankan bahwa teater yang masih memedulikan unsur sastra selalu mengedepankan dialog, diskusi, dan pertanyaan.
Kekuatan verbal dalam teater memberi kemungkinan munculnya kesimpulan baru, gagasan baru, bahkan cara baru manusia memahami realitasnya.
Namun, dalam perkembangan mutakhir, banyak teater mulai beralih pada eksplorasi teknologi—menggabungkan video, media digital, dan performans visual.
“Mungkin teater yang masih menekankan pentingnya sastra dinilai sarat pesan moral,” ujar Kongso, “sementara media baru dianggap sebagai bentuk pengucapan artistik yang lebih sesuai dengan perkembangan teknologi.”
Meski demikian, ia tidak menolak perubahan itu. Dengan sikap legowo, Kongso mengakui bahwa setiap seniman memiliki biografi artistiknya masing-masing. “Sepanjang seniman jujur dan intens, penting bagi kita untuk mengapresiasinya,” tuturnya.
Sikap ini menunjukkan kedewasaan dalam memandang seni sebagai wilayah yang terus berevolusi. Bagi BAM, mempertahankan teater sastra bukanlah bentuk nostalgia, melainkan pilihan sadar untuk menjaga kedalaman berpikir dalam proses berkesenian.
Keberhasilan Dende Tamari tidak bisa dilepaskan dari kerja kolektif di balik panggung. Para aktor—Winsa, Dende Dila, Wulan Eryana Sain, Bagus Maulana, Hawa Metha, dan Febri Febrian—menjadi tulang punggung pementasan yang intens dan emosional. Mereka menghidupkan naskah bukan sekadar dengan teknik akting, tetapi dengan pemahaman terhadap konteks sosial di sekelilingnya.
Kehadiran Reza Ashari sebagai stage manager, Mantra Ardhana sebagai sound designer, Zaeni Mohammad sebagai art director, serta Fathul Aziz sebagai penata cahaya, membentuk kesatuan visual dan atmosfer yang kuat. Musik yang diolah oleh Lalu Prima Wira Putra, Nurul Maulida, Ayutara Adelya, dan Nunuk Husnul menambah dimensi emosional yang memperdalam makna tragis Dende Tamari.


br






br






