Catatan Agus K Saputra
NusantaraInsight, Ampenan — Malam Sabtu, 25 Oktober 2025, Gedung Tertutup Taman Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB) seolah menjadi ruang di mana sejarah teater lokal kembali ditulis. Pementasan lakon Dende Tamari oleh Bengkel Aktor Mataram (BAM) bukan sekadar peristiwa artistik biasa; ia adalah pernyataan, perlawanan, sekaligus perayaan dari sebuah proses panjang berteater di tanah Lombok.
Tak mengherankan jika antusiasme khalayak memadati gedung hingga penuh. Sorot lampu, tawa, dan bisik kagum penonton berpadu menjadi satu atmosfer yang hangat dan menggetarkan.
Pentas ini menjadi penanda penting—pementasan ke-63 BAM. Sebuah perjalanan panjang yang tidak hanya berbicara tentang jumlah, tetapi tentang kontinuitas, dedikasi, dan upaya menjaga nyala teater di tengah arus perubahan zaman.
Kepala Taman Budaya NTB Lalu Surya Mulawarman menyatakan bahwa pertunjukan Dende Tamari bukan hanya bicara tentang teater. Tetapi sebuah etalese seni pertunjukan yang menggabungkan lintas seni sebagai katalisator.
“Pertunjukan ini membuka ruang dialog dan dialektika. Jauh dari arogansi diri, bahkan personalisasi kekuasaan,” ujar Surya.
BAM di bawah arahan sutradara Kongso Sukoco memang tidak asing dengan karya Antigone karya Sophocles. Dalam perbincangan, Kongso mengingatkan bahwa lakon ini pernah mereka pentaskan pada tahun 1997 di ajang Festival Teater Nasional di Bandung. Namun, dua dekade lebih berselang, lakon yang sama kini dilahirkan kembali dalam rupa baru—menjelma menjadi Dende Tamari.
Perbedaan mencolok antara kedua versi itu bukan hanya pada bentuk artistiknya, tetapi pada jiwa yang menghidupinya. Jika pada tahun 1997 BAM menampilkan Antigone dalam versi aslinya, dengan kostum, suara, dan tata artistik yang merujuk pada tradisi Yunani, maka dalam Dende Tamari mereka menanamkan roh Antigone ke dalam tubuh kebudayaan Lombok.
Ini adalah sebuah keberanian ‘menaklukkan Antigone’ ke dalam sosok Dende Tamari—sosok perempuan Lombok (Sasak).
Dende Tamari bukan sekadar adaptasi, melainkan metamorfosis. Ia adalah Antigone yang lahir dari rahim Lombok, yang berbicara dalam dialek lokal dan mengenakan kebaya Sasak, yang berdiri di antara benturan nilai tradisi, kekuasaan, dan suara hati nurani. Dalam dirinya, tragedi klasik Yunani menemukan tanah baru untuk tumbuh.
Perlawanan, Tragedi, dan Keberanian Perempuan
Mengapa Dende Tamari harus berakhir sebagai tragedi? Kongso menjelaskan dengan sederhana namun dalam: “Disebut tragedi bila peristiwa tragis itu menimpa orang baik, dan Dende Tamari melawan hukum kekuasaan yang hanya mengacu pada kepentingan kekuasaan.” Kalimat ini seolah membuka pintu tafsir baru terhadap konsep tragedi.


br






br






