Nilai kemuliaan moralitas sangat kental di sini sebagai bekal bagi seseorang yang hendak merantau, bahwa untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan di rantau atau tempat lain seyogyanya pintar-pintar membawa diri.
Namun, ada puisi yang cukup kabur, yang mungkin dapat didekati maknanya dari perspektif esensi bahasa. Bahasa adalah lambang pengertian manusia terhadap fenomena. Dia adalah konstruksi manusia yang maknanya dapat arbitrer, semena- mena menurut kesepakatan. Tatkala makna bahasa menjadi ideosinkretis, individual saat itu maknanya relatif kabur. Apa bait-bait puisi pada judul
KETIKA KATA MENJELMA API
Nalar hangus
Tak berbekas
Atau bait-bait pada judul KETIKA KATA MENJELMA EMBUN
Mata batin sumringah Mekar seperti bunga
Tebarkan salam Di setiap desah
Kita hanya dapat menyodorkan asumsi bahwa ketika kata menjadi api maka yang terjadi adalah negatif, sementara ketika kata menjadi embun, maknanya adalah positif. Bahasa adalah alat komunikasi dalam arti paling sederhana. Dia bisa menghanguskan, menyengsarakan dan bisa membuat bahagia dan riang hati.
Tema perjalanan waktu (La fuite du temps) berlanjut pada puisi-puisi seterusnya. Apakah dalam perjalanan waktu tersebut ada senang dan sengsara, bahagia atau menderita, /detik-detik itu/ lapang atau meradang/nikmat atau kiamat/ seperti suatu perjudian dalam karya-karya Blaise Pascal, tergantung cara kita dalam melakoninya. Namun, semuanya kembali kepada Penentu Utama /Mahkamah langit sedang bicara/
Tema cinta sebagai tema abadi dalam puisi termaktub pula dalam kumpulan puisi ini. Semacam cinta platonis, cinta yang tidak sampai, yaitu cinta arlina yang menunggu kekasih.
Namanya Arlina
Sudah satu jam menanti
Di tepi Pantai Langsangiring
Namun, cinta yang lain yang dikemukakan penyair adalah kebalikannya,yaitu cinta Anti yang ditunggu oleh penyair. Akhirnya, pada penghujung puisi, penyair dengan segala kesadaran menyampaikan atensi dan penghargaan yang tulus kepada figur-figur yang telah berjasa dalam mengarungi lautan kehidupan, yaitu figur opu kilong, sebagai figur idola, Opu ujung, figure sakti, kebal karena Allah dan terakhir figur ibu yang sangat berjasa tanpa pamrih, tutup prolog Prof Mardi.
Seperti biasanya seorang Amir Jaya selalu tak pernah berlayar sendiri di Pantai Biru, dirinya selalu didampingi oleh para sastrawan, budayawan, akademisi bahkan jurnalis seperti Yudhistira Sukatanya, Dr Fadli Andi Natsif, Dr Asia Ramli Prapanca, Asnawin Aminuddin, Syahril Rani Patakaki, Rahman Rumaday, Asmin Amin dan juga Ishakim.