Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini di Tosora Wajo, Nenek Moyang Wali Songo

Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini
Masjid Tua Tosora jejak peninggalan Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini

Riwayat Istri Syekh Jamaluddin Al-Husaini

Tentang riwayat isteri-isteri dari Syekh Jamaluddin Al-Husaini yang digali dari berbagai sumber bahwa beliau memiliki 9 orang isteri, yaitu sebagai berikut:

1. Amira Fathimah binti Amir Husain bin Muhammad Taraghay (Pendiri Dinasti Timuriyyah, Raja Uzbekistan, Samarkand), menikah pada 1295, mempunyai 5 orang anak.

2. Putri Nizamul Muluk bin Sultan Nizamul Muluk dari Delhi (India) yang dinikahi pada 1309 M. Pernikahan ini terjadi saat beliau kembali dari dakwah Islamiahnya di Samarkand ke negeri India. Dari isterinya ini beliau memperoleh 3 orang anak.

3. Lalla Fatimah Binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Husaini (Marocco) (Menikah pada 1319 M). Dari hasil perkawinan ini memperoleh seorang anak.

4. Fathimah binti Hasan At-Turabi bin Ali Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam Al-Hadrami Al-Husaini yang menikah pada 1323 M, memperoleh seorang anak laki-laki.

5. Putri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/Sultan Baqi Syah/Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia)/Raja Langka Suka (menikah tahun 1350 M), dan mempunyai seorang anak

6. Putri Ramawati binti Sultan Zainal Abidin I Diraja Champa (Menikah pada 1355 M), dan memiliki satu orang anak laki-laki.

7. Putri Syahirah atau Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II) binti Sultan Baki Shah Ibni al-Marhum Sultan Mahmud. Raja of Chermin dari Kelantan Malaysia (menikah pada 1390 M), memperoleh 2 orang anak.

8. Putri Jauhar binti Raja Johor Malaysia. Menikah dengan Syekh Jamaluddin pada 1399 M. Memperoleh anak dua orang.

9. Pada 1453 kawin dengan anak raja Gowa ke 7 yang bernama Batara Gowa. Dari perkawinan tersebut lahir dua orang anak laki-laki.

Leluhur Wali Songo

Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini disebutkan merupakan leluhur dari sebagian besar penyebar agama Islam di Indonesia.

Seperti kita ketahui, Wali Songo yang dianggap sebagai penyebar agama Islam yang pertama di Indonesia, adalah sebagai berikut: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Drajat.

Hal ini berdasarkan beberapa catatan di antaranya dari Majelis Dakwah Walisongo dan juga sultan-sultan di beberapa daerah di Nusantara.

Pada catatan tersebut menyebutkan bahwa semua keturunan wali songo dan beberapa sultan di nusantara semua menunjukkan jika leluhur mereka adalah Sayyid Abdul Malik Azmatkhan Al Husaini atau Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini.

Disampaikan Beliau merupakan kakek dari Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan Buyut dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) melalui garis ayah. Sebenarnya,nama asli dari Syekh Jumadil Kubro dalam naskah ini bernama Jumadil Kabir, sedangkan dari sumber lain disebutkan kalau nama aslinya adalah Zainul Husein atau Jamaluddin Husein Akbar.

Mengenai asal usul saudaranya, dalam catatan sejarah menyebutkan  bahwa Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini mempunyai banyak saudara, tetapi yang kami dapatkan catatan diantaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah Jalaluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah, Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera).

Hijrah dari Tanah Kelahiran ke Jawa

Syekh Jamaluddin Al-Husaini atau Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra, adalah Sultan ke-4 Kesultanan Islam di Nasarbad India Lama.

BACA JUGA:  Putri Dakka Berangkatkan Jurnalis dan Imam Masjid untuk Umroh

Setelah berakhir dari masa jabatannya sebagai Gubernur Deccan di India, beliau berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk menyiarkan agama Islam.

Dalam siar dakwahnya tersebut, beliau pertama kali datang ke Kamboja, dan melakukan dakwah bersama dengan saudaranya bernama Syeikh Barebat Zainul Alam alias Jalaluddin Kubra di daerah Campa.

Tetapi menurut sumber ini bahwa setelah itu Syeikh Jamaluddin Akbar Alhusein (nenek dari Maulana Malik Ibrahim) ini kemudian meneruskan dakwahnya menuju ke Sulawesi dan meninggal di Tanah Bugis daerah Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan.

Mengenai kedatangannya terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa beliau orang pertama yang datang dari India ke Nusantara. Beliau menjadi pelopor keluarga besar Azmatkhan yang berhijrah ke wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Berdasarkan catatan Tun Suzanna dan Haji Muzaffar Dato Hj. Muhammad, bahwa keberadaan Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini di Nusantara merupakan seorang pelopor yang banyak menurunkan mubaligh, wali-wali terkemuka, dan juga para pendiri kesultanan-kesultanan Ahlulbait. Diantara Mereka yang dimaksudkan tersebut, yaitu Walisongo, Kelantan, Champa, Patani dan kerajaan-kerajaan di Jawa.

Kalau dulu buyutnya berhijrah dari Hadramaut ke India maka kini salah satu cicitnya Hijrah dari India (Asia Selatan) menuju Nusantara (Asia Tenggara).

Salah satu alasan yang paling utama yang menyebabkan hijrahnya keluarga besar Sayyid Husain Jamaluddin adalah untuk berdakwah Islamiah. Walau memang pada masa itu sering terjadi ketidak stabilan politik di dalam wilayah India, tetapi hal ini bukanlah yang menyebabkan keluarga ini berhijrah

Dalam menjalankan misi dakwahnya Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini bersama adiknya Syekh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) tiba di Kelantan pada tahun 1349 M. Dari Kelantan beliau menuju Samudera Pasai, kemudian  hijrah menuju Tanah Jawa.

Di Jawa, nama Syekh Jamaluddin lebih dikenal dengan sebutan Syekh Jumadil Kubro. Kehadirannya di Jawa tidaklah banyak diketahui orang, sehingga tidak setenar dengan Wali Songo.  Padahal, tanpa disadari  dia adalah  nenek moyang dari  ke-9 wali (Wali Songo) yang ada di Jawa tersebut.

Menurut berbagai sumber, makamnya dapat ditemukan di Kompleks makam Islam kuno yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Makam beliau ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah di Indonesia,karena sejak tahun 2004 yang lalu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperkenalkan bahwa Syekh Jumadil Kubro atau Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini sebagai salah satu wali dan sekaligus nenek moyang dari para wali songo.

Sebagai salah seorang penyebar Islam, Syekh Jamaluddin  datang ke Jawa dan mampu menembus dinding kebesaran Kerajaan Majapahit, adalah semata-mata bertujuan  untuk berdakwah dan memperkenalkan agama Islam.

Beliau melihat bahwa agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan mereka sehingga memiliki keyakinanan terhadap arwah leluhur dan benda-benda suci.

Gelombang kedatangan Islam ke Jawa semakin besar, khususnya pada jaman Majapahit (1294-1478), yang dipelopori Syekh Jamaluddin Al-Husaini yaitu dengan adanya fakta banyak orang Islam yang dijumpai di sana.

Padahal boleh dikata bahwa Kerajaan Majapahit pada waktu itu sangat susah untuk ditembus, dikarenakan Kerajaan Majapahit telah menguasai daerah pedalaman di Pulau Jawa, sehingga kemajuan Islam berbenturan dengan suatu kekuatan politik dan budaya yang tangguh. Tetapi akhirnya perlawanan Majapahit dapat dikalahkan setelah dilancarkan beberapa ekspedisi militer, sehingga barulah Islam masuk ke Pulau Jawa.

BACA JUGA:  Tata Cara Qadha Puasa Jika Terlambat Membayar Hingga Datang Ramadhan Berikutnya

Gelombang dakwah Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini bersama dengan para ulama lainnya, dan juga putra-putri terjadi hingga tiga gelombang.

Gelombang pertama, dipimpin langsung sendiri oleh Syekh Jamaludin Akbar Alhusaini memasuki tanah Jawa melalui Semarang, tetapi singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya, dari Demak perjalanannya dilanjutkan ke wilayah Majapahit, tepatnya disebuah desa kecil yang bernama Trowulan yang berdekatan dengan Kerajaan Majapahit.

Disanalah rombongan ini membangun sebuah padepokan yang bertujuan untuk mendidik dan mengajarkan ilmu keagamaan kepada siapa saja yang mau mendalami ilmu keislaman

Gelombang kedua, perjalanan dakwah menuju ke Kota Gresik. Disana juru dakwahnya adalah cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin, bersama saudaranya bernama Maulana Malik Ibrahim.

Dan kelompok ketiga, yaitu dipimpin oleh putranya bernama al-Imam-al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy atau lebih masyhur dengan nama “Pandhito Ratu” berdakwah di  Tuban.

Kehadirannya di Wajo dan akhir hidupnya

Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang berjumlah 15 orang datang dari Aceh ke Majapahit atas undangan Raden Wijaya. Dari Majapahit akhirnya rombongan ini melanjutkan misinya ke Sulawesi Selatan, dan mengislamkan salah seorang raja Bugis yang bernama Lamaddusila

Kedatangannya ke Wajo melalui Pelabuhan Bojo Nepo Kabupaten Barru.Sesampainya di daerah Bugis, Syekh Jamaluddin langsung mengislamkan salah seorang raja. Keterangan ini dijelaskan oleh salah seorang pendiri Nahdatul Ulama Sulawesi Selatan yang bernama K.H. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulawesi Selatan. Keterangan ini pula dikutipnya dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia).

Walaupun sebenarnya masuknya Islam di Sulawesi Selatan selalu dikaitkan dengan trio datuk,yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimang dari Minangkabau, yang dalam catatan sejarah dijadikan sebagai awal diterimanya Islam di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan sekitar pada abad ke-16. Namun, jauh sebelumnya Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini telah lebih dahulu memperkenalkan Islam, khususnya di Wajo meski pengajarannya hanya bersifat individual. Masyarakat Wajo lebih mengenalnya sebagai Sehe’ta ri Tosora yang maksudnya adalah Syekh kita di Tosora.

Jika ditelisik dari jejak sejarah kedatangan Sayyid Jamaluddin pada 1320, Islam di Wajo lebih dahulu ada daripada berdirinya Kerajaan Wajo.

Pelantikan Arung Matowa Wajo yang pertama yakni Latenri Bali, baru dilaksanakan pada 1399. Kemudian, pelantikan Matowa ini menjadi tanda didirikannya Kerajaan Wajo. Sayyid Jamaluddin diprediksi mulai mengenalkan Islam kepada masyarakat Wajo seiring dikenalnya sistem pemerintahan kerajaan oleh masyarakat Wajo ketika itu, Sayyid Jamaluddin al- Akbar al-Husaini diperkirakan menyebarkan Islam pada zaman pemerintahan Latenribali ini.

Tentang hadirnya Islam di Wajo pada abad ke-14, yang menjadi saksi sejarah yaitu adanya makam Sayyid Jamaluddin di Desa Tosora, tepatnya di Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo.Makam ini berdekatan dengan sejumlah makam tokoh penting lainnya, salah satu diantaranya adalah makam Arung Bettengpola.

BACA JUGA:  Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah Adakan Maulid dan Haul

Ziarah di Makam Syekh Jamaluddin dan Masjid Tua Tosora

Berkunjung atau berziarah ke sebuah makam, apalagi makam yang dikunjungi yaitu leluhur, orang tua, atau anggota keluarga yang disayangimerupakan suatu perbuatan sunnah. Hukum Islam menyebutkan bahwa bila dilakukan mendapat pahala, akan tetapi tidak dilakukan tidak apa-apa (tidak berdosa). Pelaksanaan tradisi ziarah kubur dikalangan masyarakat, dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Tradisi ziarah kubur ini erat pula kaitannya dengan kharisma dari leluhur yang makamnya banyak dikunjungi orang

Salah satu makam yang banyak dikunjungi orang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, adalah Makam Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini, salah seorangpenyebar Islam di Wajo. Ziarah ke makam Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini memang tidak dapat disamakan dengan ibadah haji, akan tetapi perjalanan kesejarahan ini telah mencerminkan rasa hormat yang setinggi-tingginya dari masyarakat terhadap  pemimpin agama Islam yang kharismatik ini.

Makam Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini yang berdekatan dengan Masjid Tua Tosora,  hingga saat ini ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah, terutama pada bulan Safar. Salah satu tradisi perjalanan sejarah bagi umat Islam yang sudah lama berkembang untuk mengharap rida Allah ialah ziarah.

Tercatat dalam buku kunjungan ziarah, dapat diketahui bahwa tamu-tamu yang datang tersebut, bukan hanya dari Wajo sendiri, melainkan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia maupun dari mancanegara, seperti Malaysia. Gambaran objek dari makam Syekh Jamaluddin Akbar Alhusaini dapat dilihat di Desa Tosora,  Kecamatan Majauleng,  Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Situs makam Syekh Jamaluddin tersebut sangat mudah dicapai dengan kendaraan roda empat maupun roda dua.Makam tersebut batu nisannya berbentuk kopiah haji, dan berada di dekat mihrab bangunan masjid tua Tosora.

Masjid Tua Tosora menunjukkan bahwa pada masa itu perkembangan  Islam telah mengalami kemajuan yang pesat.

Masjid ini konon  dibangun pada abad ke 14 pada masa pemerintahan Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji, dan pada waktu itu Belanda belum menginjakkan kakinya di Tanah Wajo.

Dikatakan pula bahwa bangunan Masjid Tua Tosora ini,  bahan perekatnya berasal dari putih telur. Dengan dibangunnya masjid di Tosora ini, berkembanglah Islam di Wajo pada waktu itu.

Bila dilihat sepintas lalu kondisi masjid ini walau ukurannya kecil, tetapi konon menurut riwayatnyabahwa dahulu bila akan dipakai untuk salat Jum’at berapapun banyaknya orang yang akan melaksanakan salat Jum’at, masjid ini tetap akan muat

Masjid ini  berbentuk persegi panjang dan memiliki coruk yang berfungsi sebagai mihrab yang berada pada sisi sebelah barat. Bangunan masjid ini terletak diketinggian 30,6 m dari permukaan laut. Sedang ukurannya adalah 15,84 x 15,70m, jadi luas keseluruhan bangunan ini adalah 3, 70 m, dengan ketebalan tembok 0,52 m. (**/Dari berbagai Sumber)