Prof.Dr.Nurhayati Rahman, M.S. Lagaligo, “Kitab Suci” Orang Bugis

Prof.Dr.Nurhayati Rahman
Foto bersama Prof Nurhayati Rahman peluncuran tiga buku karyanya berjudul: “La Galigo Menurut Naskah NBG 188”, “Colliq Pujie Intelektual Penggerak Zaman”, dan “Aku di Antara Santri dan Tradisi”

Yang paling ekspresifnya wanita dalam Lagaligo, setiap kali Sawerigading turun ke tempat penyabungan ayam, gadis-gadis mengintip dari balik jendela rumah mereka. Setelah menyaksikan Sawerigading, gadis-gadis itu mengungkapkan keinginannya mau kawin dengan dia, meskipun hanya satu malam. Mereka kirimi surat dalam lontarak kepada Sawerigading.

“Ceweknya jatuh cinta pada cowok. Tidak bisa tahan melihat ketampanannya (Sawerigading). Tetapi ada yang tak tertulis, semua rakyat biasa yang ‘berhubungan’ dengan Sawerigading, tidak memiliki anak karena hanya semalam. Mereka itu adalah perempuan-perempuan yang menyuratinya minta dikawini,” ungkap Nurhayati Rahman.

Begitu pun dalam hal perlakuan, Sawerigading harus berlaku adil. Kalau tidur harus satu sarung berdua. Tidak boleh tidak. Kalau jalan harus bergandengan tangan. Kapan Sawerigading tidak memperlakukan salah satu istrinya seperti itu, maka akan terjadi pergolakan dan wanita punya hak minta cerai.

Jadi, Sawerigading sangat menjaga perilakunya agar dia menikahi dan mempertahankan perkawinannya dengan baik.

Nurhayati Rahman menyebutkan, ada juga konsensus di dalam Lagaligo bahwa jika wanita lebih rendah statusnya dari laki-laki, dia harus pergi mengawini laki-laki itu. Sebaliknya, kalau wanita lebih tinggi derajatnya dari laki-laki, maka laki-lakilah yang harus pergi melamar.

BACA JUGA:  Latihan Sosialisasi Kurikulum Tapak Suci di Unismuh Makassar

“Oleh sebab itu, kembarnya Sawerigading itu karena lebih tinggi, dia tinggal di langit, sementara Sawerigading harus berlayar berbulan-bulan ke Cina karena We Cudai (yang kemudian dinikahinya) dianggap lebih tinggi derajatnya dari Sawerigading,” kunci Nurhayati Rahman dalam acara yang juga dihadiri Eddy Tamrin (Yudi Sukatanya) yang menjadi penyunting buku “Aku di Antara Santri dan Tradisi” dan penulis Andi Wanua Tangke serta sejumlah dosen dan mahasiswa Unhas. (MDA).