Prof.Dr.Nurhayati Rahman, M.S. Lagaligo, “Kitab Suci” Orang Bugis

Prof.Dr.Nurhayati Rahman
Foto bersama Prof Nurhayati Rahman peluncuran tiga buku karyanya berjudul: “La Galigo Menurut Naskah NBG 188”, “Colliq Pujie Intelektual Penggerak Zaman”, dan “Aku di Antara Santri dan Tradisi”

Tim Nurhayati Rahman harus ke Belanda selain karena ada MoU, namun sejahat apa pun Belanda pernah menjajah Indonesia, namun naskah Lagaligo dapat diselamatkan. Kalau di Indonesia sendiri sudah banyak yang dimakan api dan dimakan rayap. Sudah hilang, namun di Belanda terselamatkan.

“Saya pernah didemo oleh mahasiswa yang mendesak agar meminta kembali naskah itu,” kenang Nurhayati.

Universitas Leiden memelihara naskah itu dengan sangat rapi. Tempatnya saja diatur dan membacanya harus hati-hati. Harus mengenakan kaus tangan. Dan staf Universitas Leiden “mengawal” tim Nurhayati. Salah cara membukanya saja, langsung ditegur.

“Kita mungkin belum memiliki tenaga profesional seperti itu,” ujar Nurhayati Rahman.

Dia mengatakan, kita tertolong dengan adanya digitalisasi naskah Lagaligo atas jasa baik M.Jusuf Kalla (JK) dan kemudian diakses dan para mahasiswa dapat belajar tanpa harus ke Belanda. Nurhayati Rahman mulai menaruh perhatian terhadap naskah Lagaligo tahun 1992 bersama dengan Dr. Mukhlis PaEni.

Peluncuran buku ini ‘surprise’ banget buat Nurhayati Rahman karena buku yang diluncurkan, I Lagaligo Jilid IV baru terbit Januari 2025 dan dicetak Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Rencananya usai lebaran, namun “anak-anak” Prof. Nur – panggilan akrabnya – di Prodi Gender pada tahun akademi 2024 ini sangat antusias dan mau meluncurkannya sesegera mungkin. Meskipun Prof. Nur sendiri tidak yakin “anak-anak”-nya itu dalam waktu yang sangat singkat dapat melaksanakannya. Biasanya, kata Prof. Nur, diperlukan waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya.

BACA JUGA:  Gua Manusia Purba di Leang-Leang Kabupaten Maros

“Kejutan banget buat anak-anak saya yang bisa melaksanakan peluncuran ini dalam waktu yang singkat,” kata Prof. Nur sembari meminta yang hadir bertepuk tangan dalam acara yang diawali dengan sumbangan musik suku “To Ballo” yang menetap di Gunung Pujananting Kabupaten Barru sumbangan dari Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM).

“Kitab Suci”

Nurhayati Rahman diminta mengungkapkan misteri gender di dalam I Lagaligo. Lagaligo, kata Nurhayati Rahman, merupakan “kitab suci”-nya orang Bugis.

Oleh sebab itu, mendiang Prof.Dr.Mattulada tidak ingin Lagaligo disebut sastra. Kapan naskah ini disebut sastra, maka tersinggung penganutnya, termasuk Komunitas Tolotang di Sidrap yang untuk menyebut nama Sawerigading saja mereka harus membersihkan mulutnya. Begitu sakralnya naskah Lagaligo dan Sawerigading di dalam naskah ini bagi mereka.

“Memang dia berbentuk sastra, hanya saja tidak tersusun seperti puisi. Ditulis sambung menyambung. Setiap lima suku kata ini, irama yang lima. Karena pada saat dinyanyikan harus mengikuti irama yang lima-lima itu. Kurang atau lebih, akan menyebabkan ‘faals’. Sayang kita tidak bisa menghadirkan ‘pasure’ dari Sengkang, tentang cara membaca Lagaligo itu dengan baik dan mereka paham dengan terjemahannya,” sebut Nurhayati Rahman.