Oleh Aslam Katutu
_Di hari Pahlawan ini, Kisah ini perlu saya tulis untuk menjadi motivasi buat penerus bangsa ini_
NusantaraInsight, Makassar — Suatu waktu, menjelang wafatnya, Haji Katutu Daeng Matike berpesan lirih kepada anak sulungnya,
“Jangan kecewakan saya. Tolong buka laci di dalam lemari yang selama ini terkunci dan tidak pernah dibuka. Di dalamnya ada sesuatu yang penting.”
Pesan itu sederhana, nyaris tak bermakna apa-apa bagi keluarganya kala itu. Namun setelah beliau mengembuskan napas terakhir, sang anak akhirnya menuruti wasiat tersebut. Ia membuka laci kayu tua yang warnanya telah memudar. Di dalamnya, tertata dua lembar dokumen hijau, mirip ijazah lama yang sudah mulai rapuh dimakan usia.
Ketika dibaca, keluarga tertegun.
Yang pertama bertuliskan Bintang Gerilya, dengan tanda tangan Presiden pertama Soekarno. Yang kedua, surat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, ditandatangani Presiden kedua, Soeharto.
Kaget. Haru. Tak percaya. Begitulah perasaan keluarga saat itu. Seumur hidup, almarhum tak pernah bercerita bahwa dirinya seorang pejuang, yang saat meninggal disebut sebagai pahlawan Nasional.
Bagi mereka, Haji Katutu hanyalah sosok ayah yang sederhana, disiplin, dan pekerja keras. Tak ada lambang jasa di dinding, tak ada kebanggaan yang dipamerkan.
Kedua surat itu lalu dikonsultasikan kepada Ketua Legiun Veteran, Bapak Arifin Nu’mang, yang kebetulan masih memiliki hubungan keluarga dengan istri almarhum. Setelah mendengar kabar tentang dokumen itu, ia segera datang ke rumah dengan wajah serius namun penuh hormat.
“Bapak ini adalah seorang pahlawan nasional,” katanya dengan suara bergetar. “Beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang. Negara berutang penghormatan kepadanya.”
Hari itu juga, Bapak Arifin mengurus seluruh administrasi ke pihak Kodam. Tak butuh waktu lama, pihak Kodam menyampaikan bahwa keesokan pagi, tepat pukul sepuluh, pasukan negara akan datang menjemput jasad almarhum untuk dimakamkan secara kehormatan.
Keluarga pun terharu. Bukan hanya karena kehilangan sosok ayah, tetapi karena baru menyadari betapa besar arti kehidupan yang telah beliau jalani dalam diam. Hari itu, rumah tinggal mereka berubah menjadi tempat penuh doa, rasa hormat, dan kebanggaan yang tak terucap.
Pagi itu, udara Makassar terasa lebih tenang dari biasanya. Di depan rumah, satu batalyon tentara berdiri tegak. Dentuman langkah kaki para prajurit bergema di jalan kecil itu. Sang pahlawan dijemput negara dengan penuh kehormatan.dan disambut tembakan penghormatan.







br






