Padahal, dari studinya di Jombang tahun 1960, pesantren yang didirikan ayahnya, Wahid Hasyim, ia telah memiliki sertifikat yang merupakan bukti sudah lulus studi yurisprudensi Islam teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait yang kesemuanya memerlukan pengetahuan Bahasa Arab yang sangat baik.
Hanya saja, Gus Dur tidak memiliki ijazah yang menunjukkan ia sudah lulus dasar-dasar bahasa Arab. Akibatnya, Gus Dur dimasukkan ke kelompok mahasiswa di kelas yang benar-benar pemula. Banyak mahasiswa yang baru tiba dari Afrika dan hampir sama sekali tidak tahu abjad Bahasa Arab, apalagi menggunakan bahasa ini dalam percakapan. Mengetahui hal ini, Gus tidak mengikuti kelas tersebut.
Gus Dur ingat, sepanjang tahun 1964, dia hampir tidak masuk kelas pemula itu. Itu artinya, tidak melakukan studi formal. Dia justru mengisi waktunya dengan mengikuti pertandingan sepakbola yang banyak terdapat di Kairo. Juga membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis. Ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik.
Ketika tiba di Kairo, Gus Dur berusia dua puluh lima tahunan. Dalam usia seperti itu, dia merasa bebas. Soalnya, ketika remaja di Yogyakarta, kehidupannya relatif bebas, tetapi sebagai putra tertua almarhum kiai besar Wahid Hasyim, setiap gerak geriknya diamati. Termasuk kunjungannya ke bioskop secara diam-diam.
Sebagai seorang siswa pesantren di Magelang dan Jombang, Gus Dur merasakan adanya batasan sosial yang bahkan lebih ketat. Meskipun kemudian Al Azhar cukup mengecewakan dirinya, secara aneh tempat itu merupakan pengalaman yang membebaskannya. Soalnya, ia dapat memperoleh kebebasan menghabiskan waktunya dengan caranya sendiri.
“Ia tidak dihalangi oleh jadwal yang ketat oleh orang-orang yang mengawasinya di kota-kota kecil di Jawa,” tulis Greg Barton (2002:85).
Kesenangannya menonton film terbaik Prancis di Kairo membuat dia sabar menunggu film-film itu diedarkan dari Eropa, Inggris, dan Amerika. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di Perpustakaan Amerika di Kairo, perpustakaan terbesar yang pernah dilihatnya saat itu.
Kendatipun Gus Dur besar di rumah yang penuh buku, keluarga, dan teman-temannya, memungkinkan dia membaca lebih banyak buku daripada kebanyakan teman-teman sebayanya. Kerap dia bekerja keras untuk mendapatkan buku-buku yang ingin dibacanya.
Kairo adalah dunia yang berbeda bagi Gus Dur. Perpustakaan-perpustakaan di sini, penuh dengan buku. Jauh lebih banyak dari yang pernah dilihatnya sebelum dia ke kota di pinggir Sungai Nil itu. Boleh dikatakan, Gus Dur adalah seorang maniak membaca. Dia bisa mengelilingi berbagai perpustakaan untuk memenuhi minat bacanya yang tinggi. Aktivitas membacanya tidak kenal tempat. Tidak saja di perpustakaan-perpustakaan, tetapi juga di sekeliling rumah dan di tempat menunggu bus. Yang aneh, jika tidak ada buku, potongan surat kabar atau majalah pun bisa jadi alat untuk pemuas dahaganya akan bacaan.


br






br






