NusantaraInsight, Sinjai — Ratusan keturunan La Patau Matanna Tikka berkumpul di Lapangan Padaelo, Kelurahan Tassililu, Kecamatan Sinjai Barat, dalam rangkaian kegiatan Silaturahmi Nasional Wija La Patau Matanna Tikka Matinroe ri Naga Uleng, Raja Bone ke-16, wilayah Manipi dan daerah lainnya.
Mengusung tema “Merajut Masa, Menenun Kisah”, kegiatan ini menjadi simbol komitmen bersama dalam menjaga warisan leluhur dan mempererat tali persaudaraan lintas generasi.
Dengan latar suasana pegunungan yang sejuk dan asri, Silaturahmi Nasional ini tidak sekadar menjadi ajang temu keluarga, tetapi juga momentum budaya yang membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya melestarikan silsilah, sejarah, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh La Patau Matanna Tikka—sosok pemersatu dan simbol kejayaan Bugis di masa lalu.
Salah satu tokoh keluarga, Andi Basri Petta Lili, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut. Ia menilai, pertemuan ini adalah langkah awal yang penting dalam merajut kembali ikatan rumpun keluarga besar yang telah tersebar di berbagai daerah.
> “Silaturahmi ini adalah momen yang sangat berarti. Harapannya, ini tidak hanya menjadi seremoni, tetapi menjadi kekuatan yang menyatukan dan mempertegas identitas kita bersama,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar kegiatan semacam ini tidak disalahartikan atau dijadikan ruang untuk mengubah hal-hal yang biasa menjadi luar biasa secara sepihak, tanpa dasar yang kuat.
“Mari kita jaga kemurnian niat dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur,” tutupnya.
Kegiatan ini juga mendapat sambutan hangat dari generasi muda. Salah satunya, Andi Faadiyah Sulfi, menilai acara ini sangat positif sebagai ruang mempererat kekeluargaan sekaligus menumbuhkan kesadaran sejarah.
“Kegiatan seperti ini bukan hanya memperkuat silaturahmi antarrumpun, tapi juga menjadi pengingat bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga marwah dan makna warisan leluhur,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap struktur nasab sebagai bagian dari upaya menjaga keaslian gelar dan posisi seseorang dalam garis keturunan. Ia mencontohkan simbol seperti attangke kajua, yang menurutnya dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa tidak semua keturunan secara otomatis berhak menyandang gelar kebangsawanan.
“Ini bukan semata soal pengakuan, tetapi soal pemahaman terhadap akar sejarah. Setiap gelar memiliki asal-usul dan tanggung jawab yang melekat padanya,” tegasnya.
Menurutnya, pelibatan generasi muda dalam kegiatan seperti ini sangat penting untuk memastikan nilai-nilai luhur tidak hanya dikenang, tetapi juga diwarisi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.