Alumni Magister UGM 2004 ini menyebutkan, melalui pendekatan sosiolliguistik transformatif yang ditawarkannya mengajak semua pihak menghidupkan kembali fungsi luhur bahasa sebagai penjaga martabat manusia dan pemersatu bangsa. Dalam era digital yang penuh dengan kebisingan dan percepatan ini, hendaknya kita meletakkan nilai-nilai kesantunan, empati, dan inklusivitas sebagai fondasi dalam berbahasa.
“Mari kita ubah cara menggunakan bahasa, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menyembuhkan. Bukan untuk memecah, melainkan untuk menyatukan,” kata lulusan Doktor Unhas tahun 2015 itu.
Guru Besar yang saat ini menjabat Ketua Departemen Sastra Indonesia FIB Unhas ini menyebutkan, sosiolinguistik merupakan ilmu harapan. Ia memberi alat untuk memahami dunia, tetapi juga kearifan untuk memperbaikinya.
Dengan membangun kesadaran linguistik yang lebih tinggi di kalangan masyarakat kita sedang menyiapkan generasi masa depan yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek etika komunikasi. Kita sedang membangun peradaban. (mda).