Pengukuhan Empat Guru Besar UINAM, Mandi Air Mata, Canda, dan Tawa

Kepada Abba dan Umminya, dia memohon maaf karena masa kecil hingga remaja, tingkah lakunya sering bikin susah. “Namun dengan kecintaan dan belas kasih membesarkan saya, kini Munawir yang sering meresahkan itu, telah berdiri dengan percaya diri di podium kehormatan pengukuhan guru besar, ” kata Kamaluddin dengan suara bergetar.

Waktu terus berjalan hingga sampailah giliran Prof. Dr. Drs. H. Supardin, M. HI.
Pria kelahiran Batu Merah Malili Kabupaten Luwu 2 Maret 1965.

Dia bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Sitti Fatimah dan Diusman Djahir.

Kepala Pusat Kajian Islam Sains dan Teknologi ini, mengaku tak mau kalah dengan penampilan guru besar sebelumnya.

Semangat hijau hitam yang mengalir di tubuh mantan Kepala Pusat Peradaban Islam, teramat kental. Sehingga mengawali pidatonya, Sektetaris Jenderal BPP IKA UINAM ini, meminta kepada peserta mengikuti arahannya. “Kalau saya bilang yakusa, maka lanjutkan dengan yakin usaha sampai, ” ajaknya penuh semangat yang menyala.

Pada pidato pengukuhan bertajuk Warisan di Persimpangan Konflik Antara Tradisi dan Keadilan, kajur Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan/Hukum Keluarga Islam 2015-2019 ini, mengurai tentang banyaknya kasus-kasus warisan yang tak kunjung selesai, bahkan karena persoalan harta warisan menyebabkan terjadinya perselisihan keluarga dan tidak jarang pula berakhir tragis.

BACA JUGA:  Pascabanjir, SMA di Sidrap dan Wajo Alami Kerusakan

Prof. Supardin yang juga pernah menakodai Laboratorium Falaq Fakultas Syariah 2012-2015, mengingatkan bahwa kehadiran di ruangan ini, bukan sekadar menyaksikan seremoni pengukuhan, tetapi meneguhkan komitmen terhadap ilmu pengetahuan agar terwujud keadilan warisan di bumi pertiwi.

Isu warisan sering menjadi pemicu sengketa keluarga berkepanjangan. Hal ini sebagai cerminan kompleksitas hukum dan budaya yang sailing bersinggungan. Selain itu, dilema dalam menerapkan nilai-nilai keadilan berdasarkan hukum, sering berbenturan dengan tradisi masyarakat yang mengakar.

Konflik antara tradisi dan keadilan dalam pembagian warisan, menurut ayah tiga anak ini, memerlukan pendekatan yang tidak sekadar normatif, tetapi juga dialogis dan kontekstual dengan mempertimbangkan aspek sosial, kultural, spiritual yang hidup dalam masyarakat.

Untuk mencapai titik temu tradisi yang berkeadilan, menurut anggota Dewan Penasihan Majelis Rayon KAHMI UINAM itu, dibutuhkan sedikitnya empat hal. Yakni, dialog intergenerasi, reformasi tradisi, pendidikan inklusif dan kolaborasi antara akademisi dan tokoh adat.

Akhirnya, Prof Supardin yang juga pernah menjabat Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Kesehatan UINAM 2008-2012, pula di masa kecilnya sebagai guru di usia empat tahun hingga menyandang guru besar pada usia 60 tahun, menjadi sumber inspirasi dan motivasi untuk terus berkarya dan berkontribusi buat generasi mendatang.

br