MEDIA SOSIAL X OBJEK PENELITIAN

NusantaraInsight, Makassar — Penggunaan bahasa di media sosial akhir-akhir ini memantik mahasiswa menjadikannya sebagai objek penelitian.

Memang dari ‘sono’-nya variasi bahasa dapat dibedakan dari segi pemakai dan segi pemakaiannya. Dari segi pemakai dapat dibedakan atas variasi atau ragam bahasa yang disebut dialek, idiolek, dan sosiolek.

Dialek adalah ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah tertentu. Misalnya, bahasa Indonesia dikenal dalam beberapa Medan, Betawi (Jakarta), Yogyakarta, Manado, Ambon, Makassar, Banjar dan sebagainya.

Idiolek adalah ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Misalnya, bahasa atau kata-kata yang diucapkan mendiang Soeharto — Presiden II Republik Indonesia — yang kerap menyebut kata “peternakan menjadi peternaan, semakin — semangkin, kemakmuran rakyat Indonesia — kemakmuran daripada rakyat Indonesia” dan sebagainya.

Sedangkan sosiolek adalah ragam bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial di dalam masyarakat. Penelitian yang dilakukan Andi Silvi Puspita ini bersentuhan dengan variasi bahasa ‘sosiolek’.

Mahasiswa kelahiran Rumbia Jeneponto 6 Mei 2003 ini memilih judul “Pembentukan Kata pada Kolom Komentar Media Sosial X”. Media sosial X sebelumnya dikenal sebagai twitter.
Penetitian Cilla — demikian mahasiswa Departemen Sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin angkatan 2021 ini akrab disapa teman-temannya — menarik karena kita dapat mengetahui secara akademik penyimpangan penggunaan bahasa berdasarkan komentar di media sosial X. Penyimpangan bahasa terjadi ketika ditemukan perbedaan bahasa atau kata baku dengan bahasa yang digunakan di media sosial.

BACA JUGA:  Pelajar Sinjai Dukung Pemecahan Rekor MURI di Festival Sulsel Menari

Oleh sebab itu Dahlan Iskan — salah seorang tokoh pers nasional –dalam orasinya ketika menerima jabatan kehormatan Guru Besar dari Universitas Malaysia Perlis (UniMAP) 13 September 2013 menyebutkan, di era perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, ada yang disebut ‘kebenaran baru’. Kebenaran baru yang dia maksudkan itu bukan lagi fakta sebagaimana yang menjadi rujukan pers, melainkan ‘persepsi’. Persepsi, yakni tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya.

Oleh sebab itu, penggunaan penyimpangan kebahasaan yang terjadi di media sosial diterima berdasarkan persepsi, bukan sebagai sebuah fakta.

Yakni, kesepakatan terhadap tanggapan /kata/ yang disepakati oleh para pengguna media sosial X. Misalnya, Cilla memberikan contoh pada penggunaan prefiks (awalan, imbuhan pada awal kata) /meng/ dia menemukan penggunaan kata /mengsedih/.