Akhir Sebuah Bab, Awal Jejak Baru Mahasiswa Magang Departemen Sastra Unhas

Dr. Sumarlin Rengko HR, S.S., M.Hum., selaku dosen pendamping magang dari Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Unhas, menyampaikan apresiasi mendalam atas kesempatan belajar yang diberikan oleh Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.

Menurutnya, pengalaman magang ini ibarat “ruang aksara hidup” mahasiswa tidak hanya mengamati, tetapi turut merasakan denyut kerja kebahasaan secara langsung.

“Di Balai ini, mahasiswa belajar bahwa bahasa bukan sekadar objek studi, tetapi napas kebudayaan yang harus dirawat dengan kepekaan dan cinta,” ujarnya.

Ia pun berharap agar kolaborasi antara kampus dan Balai Bahasa terus tumbuh, melahirkan generasi yang tidak hanya literat, tetapi juga berjiwa pelestari.

Salamawati Mansyur, mewakili ketiga rekannya—Salma Samrah, St. Aisyah, dan Firda—mengungkapkan bahwa masa magang di Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan telah menjadi tapak awal yang bermakna dalam perjalanan akademik dan batin mereka sebagai mahasiswa Sastra Daerah.

“Di tempat ini, kami tidak hanya belajar tentang struktur dan kebijakan kebahasaan, tetapi juga menyelami makna dari menjaga dan menghidupkan bahasa sebagai wujud cinta pada budaya,” tuturnya dengan mata berbinar.

BACA JUGA:  Ketua PGRI Luwu Utara Temui Guru di Seko Pakai Motor Trail dan Alami Insiden Kecelakaan

Ia menyebut Balai Bahasa sebagai ruang sunyi yang penuh gema, tempat suara-suara minor dari kearifan lokal diangkat dan diberi tempat terhormat.

“Kami pulang dengan bekal yang tak tertulis di modul perkuliahan, bekal tentang keikhlasan bekerja, tentang nilai, dan tentang tanggung jawab sebagai generasi penjaga bahasa,” tambahnya lirih, seolah menyulam pengalaman itu menjadi puisi yang tak akan lekang dalam ingatan.

Penarikan mahasiswa magang ini bukanlah sebuah titik akhir, melainkan jeda penuh makna, sebuah koma yang membuka ruang bagi kelanjutan kisah di medan bahasa dan budaya.

Dari ruang-ruang tenang Balai Bahasa, mereka kembali dengan tangan berisi pengalaman, dan hati yang dipenuhi semangat untuk merawat jejak leluhur melalui kata-kata.

Lembar-lembar laporan yang mereka tulis bukan sekadar bukti kerja, melainkan narasi kecil dari cinta yang tumbuh terhadap bahasa ibu, cinta yang tak lantang, namun bekerja dalam diam, menjelma tekad.

Di balik kesunyian itulah, sebuah generasi pelestari sedang bertunas, menyulam aksara menjadi cahaya, dan menjadikan warisan bahasa sebagai lentera di jalan panjang kebudayaan.

BACA JUGA:  SLBN 2 Makassar Gelar Coaching Clinic "Bocce"