Ziarah Jejak Kata

Sejarah, kata orang, adalah jendela masa lalu. Namun dalam diskusi ini, saya merasakan bahwa sejarah bukan sekadar jendela, tapi juga cermin. Cermin yang memperlihatkan siapa kita sesungguhnya, dengan segala kemuliaan dan kelemahan kita. Prof. Mardi, dalam tutur tenangnya, mengingatkan bahwa buku ini bukan hanya tentang kerajaan, tapi tentang jiwa manusia Makassar ; tentang moral, tentang kebiasaan, tentang pemerintahan, pekerjaan, kesenangan, hingga cara mereka mencintai dan menikah.

“Budaya dan tradisi kita,” ujar Prof. Mardi, _”kaya akan pengetahuan. Namun kita miskin dalam budaya tulis.”_ Sebuah pengakuan yang mengandung luka sekaligus harapan. Kita lebih banyak mendengar, menutur, dan membiarkan kenangan larut bersama angin. Padahal, kata Prof. Mardi lagi, *”salah satu sumber pengetahuan adalah kesaksian dari orang lain.”* Maka menulis adalah upaya menyelamatkan kesaksian mengubah lisan menjadi abadi.

Pernyataan itu mengalir seirama dengan apa yang pernah saya dengar langsung dari Yudhistira Sukatanya, dalam sebuah pertemuan buka puasa bersama yang saat itu saya duduk disampingnya sehingga radar telinga sangat jelas menangkap dan merekamnya yaitu bahwa _”menulis sejarah adalah menyajikan data; sedangkan menulis fiksi adalah menyajikan rasa dari sebuah pengalaman”_ katanya. Maka Garvaise menulis sejarah Makassar bukan dengan imajinasi, tapi dengan pengamatan. Ia menangkap denyut nadi kehidupan orang-orang Makassar di abad yang lalu, dan memberikannya kepada kita sebagai warisan pengetahuan yang harus dijaga.

BACA JUGA:  Kenangan Seorang Jurnalis Radio: Jejaring Wartawan dan Ide Wawancara

Dan di akhir diskusi, terucap satu kalimat yang menggugah dari Prof. Mardi :
*”Apakah tikus berani memberi kalung ke leher kucing?”*
Sebuah pertanyaan sederhana, namun di dalamnya terkandung kearifan. Ia menyiratkan tentang keberanian, tentang siapa yang bicara, siapa yang berkuasa, dan siapa yang menuliskan sejarah. Dalam konteks diskusi ini, mungkin pertanyaan itu mengingatkan kita bahwa tidak semua suara berani bersuara; tidak semua kebenaran berani ditulis. Dan sejarah, kadang lahir dari ketakutan untuk menantang penguasa, dari keraguan untuk menulis yang benar.

Namun buku ini, terjemahan karya asing yang merekam Makassar dengan kejujuran antropologis, adalah pengecualian. Ia menjadi lensa dari luar untuk melihat diri kita di dalam. Dan tugas kita sekarang adalah menjawabnya; _*bukan hanya dengan membaca, tapi dengan menulis sejarah kita sendiri dengan keberanian, dengan kearifan, dan dengan cinta pada tanah tempat kita berpijak.”_ Pungkas Prof. Mardi guru besar filsafat bahasa unhas itu saat menutup diskusi tersebut.