#Kaki kecil telanjang menapak jejak menuju langit…
Tak gusar walau cadas menggores perih pada kaki yang lama tak beralas…
Tak ada keluh kesah walau onak dan duri kadang menghiasi luka..
Tak patah arang walau peluh merobek seragam yang kini kusam..
Demi asa menggapai langit#
NusantaraInsight, Maros — Syair di atas mungkin sedikit mewakili Wati, siswa kelas 6 Sekolah Kolong (Kelas jauh SDN inpres 238 Bonto Parang) Dusun Bara Desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros Sulawesi Selatan.
Wati begitu gadis kecil itu diberi nama tinggal di Dusun Cindakko yang merupakan salah satu pelosok yang garis wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Gowa. Wati kecil harus menempuh perjalanan sekira 1 jam dari dusunnya menuju dusun Bara tempat dirinya bersekolah.

Ia harus melalui tebing terjal di antara pohon pinus yang merupakan tanaman endemik di dusunnya untuk meraih pendidikan yang cuma ada di dusun Bara.
Untuk ke sekolah, Wati kecil harus berlomba dengan matahari yang belum menampakkan sinarnya. Ia juga harus berteman dengan hawa dingin yang kadang bak belati mengiris kulit.
Namun itu yang harus dia lakukan selama 6 tahun ini untuk mengecap pendidikan.
Tak tanggung-tanggung untuk ke sekolah, Wati kecil harus melintasi pegunungan karst yang notabene sangat tajam dan licin. Ia sangat jarang beralas kaki, karena menurutnya itu sangat riskan untuk mendaki karena licin, apalagi cuaca yang tak bisa diprediksi dan terkadang hujan hingga membuat jalan setapak yang dilaluinya semakin licin. Salah sedikit, ia dapat terjatuh atau terpeleset ke dalam jurang.
Tidak mudah untuk mencapai sekolah tempat Wati belajar, harus melewati jalan terjal yang curam dan berbatu, melewati jembatan gantung, sungai dengan batu-batu yang licin.

Yang menjadi kesedihan Wati, jika musim hujan tiba, ia harus belajar di rumah karena derasnya air sungai yang tak mampu ia lewati.
Walau itu sangat melelahkan, namun Wati tak pernah menyerah, baginya ia harus tetap belajar, ia sadar hanya dengan belajar, hanya dengan pendidikan ia bisa mengubah kehidupannya dan kehidupan keluarganya ke arah yang lebih baik.
Meskipun melewati medan berat dan sarana prasarana sekolah yang tidak ada. Mereka hanya belajar di bawah kolong rumah warga, namun semangat dan keyakinannya tetap membara, ia selalu berupaya untuk tetap fokus belajar dan membaca buku-buku yang ada, ia sadar bahwa nasibnya tak akan berubah tanpa belajar dan tanpa pendidikan.