Tiga Gelas Kenangan

Yang paling saya rindukan dari kawan saya ini sebenarnya bukan obrolannya, tapi suaranya ketika mengaji merdu, dalam, penuh getar rasa. Kalau ia jadi imam, biar satu juz dalam satu rakaat pun, saya masih ingin terus mendengar, apalagi kalau dia pas jadi imam dan baca surat as-sajadah pakai suara syekh Misyari Rasyid.

Bacaan-bacaannya dalam sholat, mengingatkan saya pada irama imam Masjidil Haram yakni lembut tapi menghujam. Seperti kata Sayyid Qutb, “Al-Qur’an itu tidak hanya dibaca oleh lidah, tapi juga oleh hati.”

Sementara kawan lama saya yang satu namanya Bakri Sengan. Kami pertama kali kenal di Fakfak, waktu itu saya masih SMA kelas dua dan dia sudah mahasiswa. Kami dipertemukan dalam kegiatan Leadership Basic Training (LBT) Pelajar Islam Indonesia (PII). Setelah itu kami sering rapat bersama saya di bidang Pemberdayaan Masyarakat Pelajar, dia di Humas. Tapi waktu, seperti biasa, punya jalannya sendiri.

Saya akhirnya lebih memilih aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Daerah Fakfak dan komunikasi kami perlahan kabur di antara kesibukan masing-masing. Sampai akhirnya, ya hari ini, di Makassar, kami dipertemukan kembali.

BACA JUGA:  “Habis Gelap, Terbelah-Lah Durian”

“Lucu ya, dulu di Fakfak ketemu, sekarang malah di Makassar,” kata kawan saya Bakri sambil menyeruput jus buah naga yang dipesannya.

“Betul,” jawab saya. “Kayak dunia ini cuma mutar-mutar di antara teman lama yang belum sempat selesai bercerita.” Kami tertawa. Hujan di luar seperti ikut tersenyum.

Pertemuan kami ini diprakarsai oleh Pak Kiai, (Husein Wattimena) mumpung dia di Makassar untuk wisuda istrinya, sekalian reuni kecil. Kawan saya Bakri juga sedang menghadiri acara PII se-Indonesia Timur yang dipusatkan di Makassar. Maka lengkaplah sudah bahwa hujan, jus dingin, kenangan yang belum basi.

“Tidak ada yang lebih baik daripada kembali ke suatu tempat yang tidak pernah berubah untuk menemukan cara di mana Anda sendiri telah berubah.” tulis Nelson Mandela dan benar, kami tidak lagi sama, tapi kenangan kami tetap utuh.

Obrolan kami mengalir seperti sungai yang menemukan jalannya sendiri dari pendidikan dan pesantren, ke budaya, politik, sampai cita-cita membangun daerah masing-masing. Kadang serius, kadang tawa memecah sunyi. Kadang diam, membiarkan jus mendingin, tapi hati tetap hangat.

BACA JUGA:  Tambang Nikel Raja Ampat, Bukti Rusaknya Kapitalisme

Di sela percakapan, saya berkata pelan, “Kalian sadar tidak, ada hal yang selalu Allah jaga pertemuan yang tertunda tapi tidak pernah batal.”

Pak Kiai (kawan saya Husein) mengangguk. “Benar. Kadang Allah tidak menjawab doa dengan waktu yang cepat, tapi dengan waktu yang tepat.”

br
br