Tidak akan ada kerusakan alam, dan penambangan Nikel tanpa adanya izin yang dikantongi. Padahal faktanya penambangan Nikel ini mengancam keanekaragaman hayati juga melanggar UU Kelestarian Lingkungan. Inilah bentuk nyata kerusakan sistem kapitalisme. Penambangan yang membahayakan lingkungan dapat dilakukan meski melanggar UU yang sudah ditetapkan negara. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha lebih berkuasa dibanding penguasa atau rakyat.
Fakta ini, seyogianya membuat kita sadar ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasinya memicu lahirnya berbagai produk perundangan buatan manusia yang mengarah pada liberalisasi ekonomi. Salah satu wujudnya tampak pada kebebasan memiliki segala sesuatu bahkan jika hal tersebut merupakan kebutuhan vital yang harusnya dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Di sektor pertambangan misalnya, kebebasan tersebut diberikan bagi para investor. Tahun 1967, terbit UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur pemberian konsesi tambang, apa pun jenisnya, kepada pihak swasta. PT Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada 2020, UU Minerba direvisi untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa oligarki batu bara yang hampir habis masa konsesinya. Untuk nikel pun sama saja, seperti yang berlaku di Raja Ampat.
Omnibus Law juga dalam salah satu pasalnya, UU ini menghapuskan kewajiban pemerintah dalam hal menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Alasannya untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha serta memudahkan persyaratan investasi dari sektor kehutanan. Padahal imbas dari semua kebijakan tersebut sudah tentu, alih fungsi hutan meningkat dan kerusakan alam semakin menjadi-jadi. Maka wajar jika banyak yang mengklaim Indonesia menganut ideologi kapitalis, karena fakta dilapangan surganya bagi para investor, kapital, penguasa dan pengusaha. Rakyat hanya dapat sampahnya.
Pengelolaan Tambang Sesuai Syariat
Dalam pandangan Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra.. Disebutkan,
“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).