SURAT BUAT WAKIL RAKYAT

Wakil rakyat
Ilustrasi: Rosa Rizqi Amalia

Kami tidak ingin lagi melihat DPR menjadi tempat di mana undang-undang lahir untuk menguntungkan segelintir orang. Kami tidak ingin mendengar lagi kabar korupsi, skandal, atau transaksi politik yang merugikan negeri. Kami ingin DPR menjadi rumah aspirasi, tempat di mana suara kecil kami didengar dengan besar hati. Tempat di mana “wakil rakyat” benar-benar berarti: mewakili rakyat.

Saudara wakil rakyat,
Surat ini panjang karena penderitaan kami pun panjang. Kami menulis bukan untuk menuduh semua sama. Kami tahu, ada wakil rakyat yang jujur, yang gigih, yang berani menentang arus demi kebenaran.

Kami tahu, masih ada yang bersih hatinya, yang sungguh-sungguh ingin negeri ini maju. Untuk mereka, kami angkat topi, kami titipkan doa. Tetapi jumlah mereka sering tenggelam oleh suara mayoritas yang lebih memilih diam, tertawa, atau sekadar berkata “setuju”.

Maka, sekali lagi, kami ingin mengingatkan:
Janganlah kalian jadi paduan suara. Jangan hanya tahu nyanyian “setuju”. Jadilah suara lantang yang berbeda, jika itu demi kebenaran. Jadilah suara minoritas yang berani, jika itu demi keadilan. Jadilah manusia yang merdeka, bukan boneka partai, bukan alat kepentingan sesaat.

BACA JUGA:  Obituari Machmoed Sallie (1): Berhenti PNS, Jadi Wartawan

Akhirnya, surat ini kami tutup dengan sebuah harapan: semoga kalian membaca dengan hati, bukan sekadar mata. Semoga kata-kata ini mengetuk pintu nurani, bukan hanya menambah tumpukan arsip. Sebab kami menulis dengan darah dan air mata kehidupan yang nyata. Dan bila surat ini tidak sampai ke meja kalian, biarlah sampai ke langit, agar Tuhan menjadi saksi bahwa rakyat telah bersuara.

Wahai wakil rakyat,
Merakyatlah, atau sejarah akan menghapus nama kalian.

Makassar, 31 Agustus 2025