Acara berlangsung di sebuah hotel dan dihadiri Wakil Presiden M.Jusuf Kalla.
Di dalam buku tersebut banyak cerita yang menarik. Di antaranya yang berkaitan dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelat merah PT Garuda Indonesia yang bagaikan gadis cantik yang seksi dan menggiurkan. Sebagai gadis cantik kerap berulah. Paling parah, selalu membuat heboh. Dalam dua periode kepemimpinan Garuda terakhir, Emirsyah Satar dan Ari Askhara, telah menggiring perusahaan penerbangan negara ini ke jurang masalah. Dirut yang pertama ditengarai melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pembelian mesin pesawat, yang kedua didakwa menyelundupkan barang mewah (onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton).
Fachry Ali menulis begini di halaman 235 buku tersebut:
“Pada akhir pertemuan saya (Tanri Abeng) yang kedua dengan Pak Harto, beliau menyodorkan map berisi ancaman pembangkrutan Garuda dari para investornya. Beliau berpesan bahwa Garuda adalah bendera negara dan tidak boleh di-“grounded”. Jadi harus diterbangkan. (Bahan itu) saya pelajari. Ternyata, Garuda sudah bangkrut karena modalnya sudah negatif 300 juta dolar Amerika Serikat dengan utang 1,6 miliar dolar, setara dengan Rp 20 triliun, kala itu.
Keputusan saya adalah mengganti direktur utama (dirut) atau pimpinan puncak Garuda. Namun, pimpinan Garuda waktu itu sangat baik dan juga saya kenal, Pak Supandi (seorang) marsekal, mantan ajudan Pak Harto. Jadi, kawan-kawan saya menasihati untuk tidak mengganti dirut Garuda.
“Jangan mengganti orang dekat Pak Harto. Tetapi, saya tidak punya pilihan lain,” kata Tanri Abeng dalam wawancara dengan Fachry Ali di Jakarta, September 2017.
Tulis Fachry lagi, “Dengan sedikit berdebar-debar, saya menghadap Pak Harto dengan keyakinan bahwa beliau akan setuju mengganti anggota direksi, namun mempertahankan dirut. Jadi, saya mulai menjelaskan permasalahan Garuda dan mensyaratkan bahwa tidak banyak pilihan untuk menyelamatkan bendera Republik itu. Tanpa saya sadar, saya sudah menyatakan kepada Pak Harto bahwa saya harus mengganti dirutnya. Saya pun lalu merasa bersalah, karena tidak sopan berkata “harus” yang berarti tidak ada pilihan lain bagi Pak Harto kecuali beliau pecat saya. Akan tetapi apa yang terjadi? Pak Harto tertawa terbahak-bahak, lalu mengatakan,”Kenapa dirutnya saja yang harus diganti? Seluruh direksi diganti saja”.
Masalah Garuda ini terbawa juga hingga kepemimpinan bangsa beralih dari Pak Harto ke B.J.Habibie. Ketika mendiskusikan reformasi perbankan, PT Garuda misalnya, Habibie bertanya kepada Tanri tentang orang-orang yang dianggap mampu. Lalu, sebagaimana dikisahkan Habibie sendiri:
“Secara spontan dan tegas Tanri menjawab Robby Djohan yang saat ini sedang menjabat sebagai direktur utama Penerbangan Garuda Indonesia, …Ada yang dapat menggantikan jabatan Robby Djohan sebagai direktur utama Garuda Indonesia dan siapa orangnya? Jawaban Tanri Abeng jelas dan tegas pula, ialah Abdul Gani,” dikutip Fachry Ali dari buku “Baharuddin Jusuf Habibie: Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Jakarta, THC Mandirim, 2008) hlm 192.