Sebagai bagian dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), lanjut Mahendra, OJK akan terus memperkuat sinergi kebijakan guna memastikan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, sekaligus meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan program Asta Cita.
Begitu pula, dalam Siaran Pers No.27/65/Dkom tanggal 20 Maret 2025, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan, “Kepercayaan Moody’s terhadap resiliensi ekonomi Indonesia menjadi salah satu indikator positif yang mencerminkan keyakinan dunia internasional terhadap fundamental ekonomi Indonesia yang solid, di tengah tingginya ketidakpastian keuangan global.”
Hal ini didukung oleh komitmen otoritas dalam menjaga kredibilitas serta memperkuat sinergi kebijakan guna memastikan stabilitas makroekonomi tetap terjaga.
Koordinasi tersebut mencakup beberapa area yaitu terkait kebijakan stabilitas nilai tukar Rupiah untuk memitigasi dampak dari dinamika global, mendorong pembiayaan ekonomi melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), dukungan dalam mengakselerasi transformasi digital pemerintah, dan memperkuat hilirisasi dan ketahanan pangan.
*Tekanan Eksternal dan Struktural*
Menurut pengajar di Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, meski Indonesia berada dalam kategori ”Baa2 stable” yang berarti memiliki kapasitas kredit moderat, terdapat tekanan eksternal dan struktural yang perlu diwaspadai. Hal ini terkait dengan risiko kebijakan proteksionisme AS dan ketegangan geopolitik.
”Jika AS mendorong pembatasan perdagangan yang lebih agresif, ekspor Indonesia bisa terkena dampaknya, terutama komoditas strategis seperti tekstil, elektronik, dan produk manufaktur berbasis nikel,” ujarnya saat dihubungi Kompas.id, Sabtu (22/3/2025).
Di sisi lain, terdapat juga ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter, tetapi terbatas akibat defisit fiskal. Di Indonesia, laju inflasi cenderung turun, bahkan berada di bawah kisaran target BI sebesar 1,5-3,5 persen, yang memberikan ruang untuk pelonggaran suku bunga.
Namun, Moody’s menyoroti negara-negara yang belum melakukan konsolidasi fiskal, termasuk Indonesia akan menghadapi keterbatasan dalam memangkas suku bunga. Artinya, beban bunga utang pemerintah akan tetap tinggi, dan BI harus berhati-hati agar pelonggaran moneter tidak memicu tekanan nilai tukar ataupun arus keluar modal.
Moody’s mencatat, tingkat utang Indonesia tetap di atas level sebelum pandemi Covid-19 dan masih tinggi dibandingkan cadangan devisa. Hal ini menunjukkan risiko fiskal masih membayangi, apalagi jika pertumbuhan ekonomi melambat atau penerimaan pajak tidak membaik.







br






