Melihat dua sisi kehidupan anak-anak yang manis, lucu, menyenangkan (“Children’s Imagination)” dan pahit, tragis, menyedihkan (“Derita Gaza, Palestina”) menimbulkan sensasi _bitter sweet_ pada perasaan saya, dan mungkin juga pada para tamu hotel lainnya.
Lukisan-lukisan tipe kedua yang lebih merupakan respon estetika Denny JA terhadap rangkaian karya pelukis dan seniman dunia seperti Edvard Munch (“The Scream”), Fernando Botero (“Monalisa Age 12”), Pablo Picasso (“The Old Guitarist”), Edgar Degas (“The Blue Dancers”), Gustav Klimt (“Portrait of Adele Bloch-Bauer”), Vincent van Gogh (“Café Terrace at Night”), Frida Kahlo (“The Wounded Deer”), Rembrandt (“The Night Watch”), Leonardo da Vinci (“The Last Supper”), Claude Monet (“The Water Lily Pond”), Michelangelo (“Pieta”), Salvador Dali (“The Persistence of Memory”), Dede Eri Supria (“Di Sudut Kota”), Affandi (“Ibuku”), Raden Saleh (“Penangkapan Pangeran Diponegoro”), dan banyak lainnya, mengajak saya bolak-balik ke masa silam dan masa depan.
Interpretasi ulang Denny JA terhadap karya-karya para maestro dengan membubuhkan label “revisiting/revisited” itu sebuah langkah berani yang tak memadai ditakar dengan pakem-pakem konvensional atas nama sakralitas karya. Sebab, semua karya masyhur itu ditambahkan Denny JA dengan minimal satu elemen visual baru yang mengasosiasikan eksistensi dunia digital. Entah dalam bentuk _cyborg_ (separuh manusia separuh mesin), hewan robotik, dan lainnya.
Ada karya bernuansa humoris seperti “Mao” (1973) ciptaan Andy Warhol, yang ditambahkan Denny JA dengan latar belakang Cina modern dan gedung-gedung pencakar langit hasil olahan AI, atau pada “The Night Watch” (1642) karya monumental Rembrandt. Jika pada karya aslinya terlihat sekumpulan lelaki anggota milisia penjaga kota dalam gaya tenebrisme (gaya lukisan yang menampilkan cahaya kontras dengan efek gelap yang mendominasi kanvas dan berfungsi sebagai latar belakang), maka dengan bantuan AI yang digunakan Denny JA ada tambahan seorang pemuda _zaman now_ dan trendi memegang gawai dalam posisi selfie, memotret dirinya dan para milisia.
Pada lukisan “The Art of Painting” (1668) adikarya Johannes Vermeer, versi _revisited_ Denny JA (dengan bantuan AI) menampilkan seorang perempuan yang sedang menjadi model lukisan seorang pelukis yang sedang bekerja. Tangan sang pelukis terlihat. Namun alih-alih memegang palet dan kuas, yang digunakannya adalah iPad dengan _stylus_ warna merah mencolok. Menurut saya, inilah lukisan yang paling jitu menangkap spirit lukisan sebagai sebuah karya visual (dalam paradigma dunia lama) dengan sentuhan AI (sebagai produk dunia baru). Bahkan judul “The Art of Painting” yang diberikan Vermeer masih bisa diinjeksi semangat serupa menjadi “The Art of Painting (with AI)” oleh Denny JA, jika dia mau.