Sebuah lukisan lain membuat saya terpaku agak lama. Seorang lelaki berada di atas kuda putih dalam pelukan remang hutan di bawah langit malam diterangi cahaya _beberapa_–ya, bukan satu—rembulan. Judul “Which Light Should I Follow?” yang tertoreh pada kanvas membuat saya menduga bahwa kalimat itu merupakan pantulan pertanyaan batin Denny JA sebagai kreator lukisan. Namun, wajah sang penunggang kuda yang tak terlihat tersebab posisinya yang membelakangi, membuat pertanyaan simbolis-eksistensialis pada judul itu tak lagi bersifat personal karena bisa menimbulkan resonansi di kepala siapa saja yang melihatnya. Mereka yang sedang menjadi para pencari cahaya.
Lukisan yang bersifat internal (diproduksi dalam olah jiwa dan pikiran Denny JA) namun tidak bersifat sakral-relijius adalah tema “Child’s Imagination”.
Pada bagian ini kita melihat anak-anak kecil dengan berbagai kondisi surealis, bahkan absurd. Misalnya seorang gadis kecil berdampingan dengan gajah raksasa dengan kaki kurus panjang khas imajinasi Salvador Dali dalam _The Elephants_. Sang gadis cilik dan gajah aneh berada di sebuah ruas jalan kota besar dikurung gedung-gedung jangkung seperti di New York City (“Child Imagination #1”).
Lukisan yang menggambarkan pantai ramai pengunjung dengan seorang bocah lelaki melayang di atas mereka, bukan dengan papan seluncur namun berdiri di atas gawai raksasa, juga mengandalkan imajinasi yang kuat. (“Child’s Imagination #13).
Belasan lukisan lain menggambarkan anak-anak dalam beragam kemusykilan (mengendarai anjing raksasa yang mengalahkan kuda-kuda balap dalam sebuah pacuan; mengendarai lumba-lumba yang melayang di depan pantai sebuah _waterfront_ kota supermodern; atau menyelam di dasar samudera bersama putri duyung di depan sebuah istana megah (milik Raja Neptunus?), menimbulkan imaji dan fantasi yang klop dengan bantuan AI sebagai generator kecerdasan buatan.
Namun senyum lebar saya melihat kegembiraan anak-anak itu langsung berganti dengan nafas tercekat dan mata berkabut begitu sampai di depan kumpulan lukisan bertema “Derita Gaza, Palestina”.
Seorang anak perempuan berwajah sedih menunduk di depan tank Merkava tentara Israel. Asap tebal membumbung di bagian kiri lukisan dan di reruntuhan gedung dan bangunan di bagian kanan (“New Year in Gaza #1”).
Sebuah lukisan menggambarkan seorang anak lelaki berlutut di antara puing-puing bangunan dengan latar belakang langit merah membara. Kaos lusuh yang dipakai menampilkan bendera Palestina. Bocah lelaki ini memiliki dua sayap putih lebat terkepak sebagai penanda bahwa dia sudah tiada (“Help Us in Gaza #1”). Lukisan ini juga digunakan sebagai sampul depan buku _Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina SATUPENA_ yang diluncurkan Desember 2023 di Restoran Al Jazeerah, Jatinegara, berbarengan Penghargaan Satupena Awards 2023 yang diberikan kepada Putu Wijaya untuk kategori fiksi dan Prof. Komarudin Hidayat untuk kategori nonfiksi.