SKEMA: Obituari Joko Pinurbo (1962 – 2024)

Joko Pinurbo
Joko Pinurbo

Beberapa bulan kemudian saya dan Jokpin bertemu lagi di kantor redaksi majalah _Balairung_ Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di bawah siraman lampu redup di halaman belakang rumah yang dijadikan kantor, Jokpin mengumpulkan beberapa orang aktivitis literasi Yogyakarta. Dia mengulas antologi cerpen saya dengan serius, dengan rokok yang terpasang di bibir hampir terus menerus.

Diskusi kami dijejali bergelas-gelas kopi pahit dan aneka gorengan yang terlihat eksotis di bawah temaram sayap-sayap malam.

“Cerpen Mas Akmal yang paling saya sukai dalam antologi ini adalah _Boyon_,” katanya dengan nada kalem kepada hadirin. Saat saya tanyakan apa sebabnya, Jokpin memberikan jawaban tak terduga, “Sebab pada akhir cerpen tertulis tanggal penulisan 11 Mei 2006. Tanggal 11 Mei adalah tanggal lahir saya.” Jawaban yang membuat saya dan para peserta diskusi tertawa lepas.

Malam itu saya gunakan sebagai kesempatan untuk menggali proses kreatifnya dalam memproduksi puisi. Apa rahasianya? “Saya selalu membawa notes ke mana pun pergi, sehingga ketika ada ilham meski hanya 1-2 kata, saya catat supaya nggak lupa. Nanti saya kembangkan menjadi puisi utuh,” ungkapnya.

BACA JUGA:  Prof. Ahmad Thib Raya Jabat Rektor Unswa Bima

Ada beberapa topik lain menyangkut kebudayaan dan kesenian yang kami bicarakan, namun terlalu panjang jika dituliskan ulang untuk obituari singkat ini.

Namun yang paling menghunjam di benak saya adalah penjelasan Jokpin yang terdengar seperti penyesalan tak berkesudahan. “Dulu saya bersikap keras terhadap para penulis pemula. Karya mereka saya kritik tajam dengan maksud agar mereka menghasilkan karya yang lebih baik lagi sesudahnya. Tetapi yang terjadi, sebagian besar dari yang saya kritik itu malah tidak pernah menulis lagi,” katanya sembari kembali mengisap rokok dalam-dalam. “Saya lalu mengubah pendekatan dalam melakukan kritik agar para penulis muda tetap berkarya. Peningkatan kualitas bisa dilakukan bertahap tanpa harus memadamkan energi kreatif mereka.”

3/
Rabu, 26 Mei 2010, pada acara Sastra Reboan di Wapres Bulungan, Blok M, saya bertugas sebagai moderator untuk diskusi. Selain Jokpin yang datang dari Yogya, narsum lainnya adalah Aan Mansyur (penyair Makassar), Heru Emka (penyair Lampung), dan Kurnia Effendi (penyair-prosais Jakarta).

Kiprah komunitas sastra dan kantong-kantong kebudayaan dalam dinamika modernisasi masyarakat dilihat Jokpin sebagai pemberontakan dalam sunyi. “Pemberontakan terhadap kecenderungan situasi yang membuat orang tidak merasa nyaman dan akrab terhadap sastra, sehingga mereka menganggap sastra terkesan eksklusif, berat, dan bahkan ‘menakutkan’,” katanya.[1]