SKEMA: Obituari Joko Pinurbo (1962 – 2024)

Joko Pinurbo
Joko Pinurbo

SKEMA
(Sketsa Masyarakat)

Obituari Joko Pinurbo
(1962 – 2024)

JOKPIN & SATU-SATUNYA NOMOR YANG TERSISA

Oleh Akmal Nasery Basral

1/
Pagi ini, Sabtu 27 April 2024, Sastrawan dan penyair Joko Pinurbo meninggal dunia di RS Panti Rapih, Yogyakarta, pada pukul 07.14 WIB. Seandainya malaikat maut tak menjemput, dua pekan lagi—pada 11 Mei—usianya genap 62 tahun.

Tetapi ajal adalah konstanta yang tak bisa ditawar meski hanya untuk sekedipan mata. Termasuk bagi penerima Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002), Kusala Sastra Khatulistiwa/Khatulistiwa Literary Award (2005), South East Asian (SEA) Write Award (2014), dan deretan penghargaan sastra lainnya itu.

Ingatan saya melayang pada satu puisi yang ditulis Jokpin—nama panggilan akrabnya—khusus untuk saya 17 tahun silam. Larik-larik sajaknya begini:

SUSU RINDU
: _Akmal Nasery Basral_

Ada seseorang di kepalamu yang mirip ibumu.

Setiap subuh ia teteskan susu rindu
ke kuncup kata-katamu.

Joko Pinurbo
13.04.2007

Saya bukan penyair dan tak terlatih menulis puisi. Namun mendapatkan kehormatan dari seorang Jokpin membuat saya berikhtiar sekuat tenaga menyusun konstruksi _licentia poetica_ seperti ini:

BACA JUGA:  Helm, Solidaritas Sosial, dan Demonstrasi

MENYUSU PADA SEPI
: _Joko Pinurbo_

dibacanya peringatan pada kemasan itu dengan hatihati
: sebaiknya digunakan sebelum mati
lalu disesapnya tetes-tetes luka sampai terakhir nyeri

masih diingatnya sebuah pesan terpampang di balai kesehatan
anak sapi menetek pada sapi
anak manusia menyusu pada sepi.

Akmal Nasery Basral
13.04.2007

“Saya suka puisi Mas Akmal,” puji Jokpin yang berusia enam tahun lebih tua dari saya, dengan kesantunan nan prima. “Ekspresi pada larik terakhir kuat sekali.”

Saya lega, meski tetap menduga, jangan-jangan Jokpin hanya sedang _ngemong_ saya sebagai yuniornya.

Pertukaran dua sajak kami yang digubah pada hari yang sama itu adalah satu-satunya momen ketika frekuensi estetika kami sedang selaras.

Setelah itu, saya tak pernah lagi mampu mengejar kelincahan diksi Jokpin, yang sering (terlihat) sederhana, lembut, lucu, namun hangat memancarkan aneka spektrum makna termasuk kedalaman spiritualitas yang penuh renjana.

2/
Pada baris pertama puisinya untuk saya itu, Jokpin menulis, “Ada seseorang di kepalamu yang mirip ibumu”.

Bagi pembaca umum, larik itu terdengar acak. Namun sejatinya Jokpin sedang merujuk kumpulan cerpen saya yang berjudul _Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku_ (2006) yang terdiri dari 13 cerpen.

BACA JUGA:  Ibadah dalam Kondisi Apapun

Yang mengenalkan kami berdua adalah Yohanes Sugianto, salah seorang penggagas Sastra Reboan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Antologi puisi pertama Yo berjudul _Di Lengkung Alis Matamu_ disunting oleh Jokpin dengan apik. Dalam salah satu momen proses penyuntingan itulah saya bertemu penyair alumnus IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta tersebut di rumah Yo di kawasan Lebak Bulus.